Kumpulan Dunia Pendidikan Anak Aceh

Minggu, 11 Oktober 2015

RITUAL IBU HAMIL SAMPAI MELAHAIRKAN DI DAERAH BANJAR

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang.
Berbagai upacara mandi yang ditemukan di lapangan ialah upacara mandi menjelang kawin pertama kali, upacara mandi bagi seorang wanita yang pertama kali hamil, berbagai upacara mandi sebagai cara penyembuhan, dan mandi sebagai salah satu syarat atau bentuk amalan.
Tidak semua wanita yang hamil pertama kali harus menjalani upacara mandi. Konon yang harus menjalaninya ialah yang keturunannya secara turun temurun memang harus menjalaninya. Pada upacara mandi hamil, mungkin si calon ibu sebenarnya bukan tergolong yang wajib menjalaninya, tetapi konon bayi yang dikandungnya mungkin mengharuskannya melalui ayahnya dan dengan demikian si calon ibu ini pun harus menjalaninya pula. Lalai melakukan upacara itu konon menyebabkan yang bersangkutan atau salah seorang anggota kerabat dekat “dipingit”. Sebagai akibat peristiwa “pemingitan” itu proses kelahiran berjalan lambat.
Seperti sudah dikemukakan di atas, tidak semua wanita hamil pertama kali harus melakukan upacara mandi. Yang harus melakukannya hanyalah mereka yang memang keturunan dari orang-orang yang selalu melaksanakannya. Namun dalam kenyataannya banyak ibu-ibu muda yang melaksanakan upacara itu dalam bentuknya yang sangat sederhana, meskipun konon sebenarnya tidak ada keharusan baginya untuk melakukan hal itu.
Untuk melaksanakan upacara ini kadang-kadang dipadakan saja dengan meminta banyu baya kepada seorang bidan, membuat banyu Yasin sendiri yang kemudian dicampur dengan bunga-bungaan dan melakukan sendiri upacara di rumah yang dibantu oleh wanita-wanita tua yang masih berhubungan kerabat dekat dengannya atau dengan suaminya.
Sebagai syarat melaksanakan upacara mandi ini disiapkan nasi ketan dengan inti, yang dimakan bersama setelah upacara selesai. Upacara mandi yang demikian sederhana ini sebenarnya juga dilaksanakan pada kehamilan ketiga, kelima dan seterusnya di Dalam Pagar dan sekitarnya, khususnya apabila terdapat kesukaran pada kehamilan sebelumnya.

BAB II
PEMBAHASAN
A. MASA KEHAMILAN
1. Upaya Mendapatkan Keselamatan
Wanita yang hamil pertama kali (tian mandaring) harus diupacara mandikan. Keharusan melakukan upacara mandi hamil ini konon hanyalah berlaku bagi wanita nag turun temurun melakukan upacara ini. Seorang wanita yang keturunannya seharusnya tidak mengharuskan dilakukannya upacara itu, tetapi karena kondisi si bayi dalam kandungan mengharuskannya melalui ayahnya, si wanita itu harus pula menjalaninya. Jika tidak konon wanita itu dapat dipingit, sehingga umpamanya si bayi lambat lahir dan akibatnya ia sangat menderita karenanya.
Dalam kehidupan masyarakat Banjar yang masih terikat akan tradisi lama, apabila seseorang wanita yang sedang hamil untuk kali pertamanya, ketika usia kehamilan mencapai tiga bulan atau pada kehamilan tujuh bulan maka diadakanlah suatu upacara dengan maksud atau tujuan utama untuk menolak bala dan mendapatkan keselamatan. Karena menurut kepercayaan sebagian masyarakat Banjar, bahwa wanita yang sedang hamil tersebut suka diganggu mahluk-mahluk halus yang jahat.
Upacara ini juga mempunyai maksud dan tujuan untuk keselamatan bagi ibu yang sedang hamil serta keselamatan bagi seluruh keluarganya. Bagi masyarakat Banjar Hulu Sungai khususnya, menganggap bahwa angka ganjil seperti 3, 7 dan 9 bagi yang hamil merupakan saat-saat yang dianggap sakral. Bukankah kelahiran sering terjadi pada bulan ke7 dan bulan ke-9 Dan menurut kepercayaan mereka bahwa roh-roh halus dan hantu selalu berusaha mengganggu si ibu dan dan bayi dalam kandungan, karena menurut mereka bahwa wanita hamil 3 bulan itu baunya harum.
Pada masyarakat Banjar Batang Banyu telah diketahui ada suatu upacara yang disebut Batapung Tawar Tian (hamil) Tiga Bulan, menyusul kemudian dilaksanakan upacara mandi Tian Mandaring ketika kehamilan telah berusia tujuh bulan. Tetapi pada masyarakat Banjar Kuala sampai saat ini hanya mengenal dan melakukan upacra mandi Tian Mandaring atau sering pula disebut upacara mandi Bapagar Mayang. Dikatakan demikian karena upacara tersebut dikelilingi oleh benang yang direntangkan dari tiang ke tiang tersebut di tebu (manisan) serta tombak (bila ada), sehingga merupakan ruang persegi empat pada benang-benang tersebut disangkutkan mayang-mayang pinang dan kelengkapan lainnya.
Pada upacara Mandi Tian Mandaring ini disediakan pagar mayang, yaitu sebuah pagar yang sekelilingnya digantungkan mayang-mayang pinang. Tiang-tiang pagar dibuat dari batang tebu yang diikat bersama tombak. Di dalam pagar ditempatkan perapen, air bunga-bungaan, air mayang, keramas asam kamal, kasai tamu giring, dan sebuah galas dandang diisi air yang telah dibacakan doa-doa.
Wanita tian mandaring yang akan mandi di upacara itu akan didandani dengan pakaian sebagus-bagusnya. Setelah waktu dan peralatan yang ditentukan sudah siap, wanita tian mandaring dibawa menuju pagar mayang sambil memegang nyiur balacuk dengan dibungkus kain berwarna kuning. Saat berada dalam pagar mayang untuk dimandikan, pakaian yang dikenakan diganti kain kuning kemudian wanita hamil tadi didudukkan di atas kuantan batiharap dengan beralaskan bamban bajalinLima atau tujuh orang wanita tua secara bergantian menyiram dan melangir kepala wanita tian mandaring dengan air bunga-bungaan yang telah disediakan.
Salah seorang wanita yang dianggap paling berpengaruh diserahi tugas memegang upung mayang yang masih terkatup tepat diatas kepala. Kemudian upung mayang tersebut dipukul sekeras-kerasnya hanya satu kali pukulan. Apabila upung mayang tersebut dipukul satu kali sudah pecah maka merupakan pertanda baik, bahwa wanita tian mandaring tidak akan mengalami gangguan sampai melahirkan.
Kambang mayang yang ada di dalam upung dikeluarkan lalu disiramkan dengan air ke kepala sebanyak tiga kali. Siraman yang pertama tangkai posisinya harus mengarah ke atas, siraman kedua tangkai mayang harus berada di bawah dan siraman yang ketiga ditelentangkan dan ditelungkupkan.
Kambang mayang yang berada di tengah-tengah diambil sebanyak dua tangkai, kemudian diletakkan di sela-sela kedua telinga sebagai sumping. Berikutnya adalah memasukkan lingkaran benang berulas-ulas, mulai dari kaki tiga kali berturut-turut. Pada waktu memasukkan wanita tian mandaring maju melangkah ke depan setapak, memasukkan kedua mundur, memasukkan ketiga maju lagi setapak.
Pada pintu pagar mayang ditempatkan kuali tanah dan telur ayam, begitu keluar pagar mayang kuali dan telur itu harus diinjak oleh si wanita tian mandaring sampai pecah. Selesai upacara ini wanita tian mandaring dibawa ke dalam rumah beserta undangan yang hanya boleh dihadiri oleh wanita. Di hadapan hadirin rambutnya disisir, dirias dan digelung serta diberi pakaian bagus. Sebuah cermin dan lilin yang sedang menyala diputar mengelilingi wanita tian mandaring dan dilakukan sebanyak tiga kali, sambil ditapung tawari dengan minyak likat baboreh. Sumbu lilin yang telah hangus disapukan ke ulu hati wanita tian mandaring dengan maksud untuk mendapatkan keturunan yang rupawan dan baik hati. Upacara ini diakhiri dengan bersalam-salaman sambil mendoakan wanita tian mandaring.
Upacara mandi dengan bepagar mayang ini kebanyakan dilaksanakan oleh kelompok, tutus bangsawan atau tutus candi, tetapi pada kebanyakan rakyat biasa atau orang yang tidak mampu tetapi ingin melaksanakan upacara in, maka pelaksanaan cukup sederhana saja tanpa menggunakan pagar mayang.Selain upacara yang berupa mandi tersebut, adapula beberapa upaya yang diusahakan oleh para orang tua untuk anak atau menantunya yang sedang hamil sebagai wujud sebuah pengharapan dari seluruh keluarga agar ibu yang akan melahirkan kelak selamat dan tidak ada gangguan pada saat persalinan (kada halinan) serta anak yang lahir sempurna keadaannya.
a.Upaya-upaya tersebut antara lain:
·      Mengingatkan anak menantunya yang sedang hamil untuk menghindari dari hal hal yang        bersifat pantangan (tabu).
·      Memberikan doa atau bacaan al-Qur’an untuk dijadikan amalan selama masa kehamilan.
·      Meminta air (banyu tawar) yang telah dibacakan doa-doa dari seorang tabib atau orang pintar.
b. Hal-hal yang Berupa Pantangan
Sebagian dari kelompok masyarakat yang masih memakai adat tradisi lama, hal-hal yang bersifat pantangan atau pamali masih mereka yakini, namun sebagiannya tidak memperdulikan hal-hal yang bersifat pantangan tersebut. Sebab sebagian beranggapan bahwa hal-hal yang seperti tidak masuk akal (mustahil) dapat mempengaruhi kehamilan.
Hal-hal yang berupa pantangan tersebut antara lain:
1.      Tidak boleh duduk di depan pintu, dikhawatirkan akan susah melahirkan.
2.      Tidak boleh keluar rumah pada waktu senja hari menjelang waktu maghrib, dikhawatirkan kalau diganggu mahluk halus atau roh jahat.
3.      Tidak boleh makan pisang dempet, dikhawatirkan anak yang akan dilahirkan akan  kembar dempet atau siam.
4.      Jangan membelah puntung atau kayu api yang ujungnya sudah terbakar, karena anak yang dilahirkan bisa sumbing atau anggota badannya ada yang buntung.
5.      Jangan meletakan sisir di atas kepala, ditakutkan akan susah saat melahirkan.
6.      Dilarang pergi ke hutan, karena wanita hamil menurut kepercayaan mereka baunya harum sehingga mahluk-mahluk halus dapat mengganggunya.
7.      Dilarang menganyam bakul karena dapat berakibat jari-jari tangannya akan berdempet menjadi satu.
8.      Pantangan-pantangan tersebut di atas bukan hanya pada si calon ibu saja, tetapi juga berlaku terhadap suaminya.
c. Pemeliharaan Kehamilan dan Keselamatan
Cara pemeliharaan kehamilan tidaklah berbeda dengan wanita-wanita dari suku lain. Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas) banyak mereka kunjungi untuk memeriksa kehamilan. Selain itu pemeriksaan kehamilan secara tradisional pun mereka lakukan yaitu dengan cara:
1.        Melakukan pijatan atau dengan istilah Banjar Baurut pada seorang dukun beranak atau bidan kampung yang ahli dalam bidang pijatan (urut).
2.        Membatasi diri untuk tidak terlalu suka minum air es.
3.        Memperbanyak makan sayur dan buah-buahan.
4.        Jika perut terasa sakit karena masuk angin, oleh bidan kampung disuruh meminum air rebusan gula merah dengan jahe (tipakan).
5.        Jika kaki bengkak, maka digosok dengan wadak panas atau ramuan beras kencur.
B. UPACARA MANDI HAMIL
1. Nama Upacara dan Tahap-tahapnya.
Berbagai nama bagi upacara mandi hamil ialah: mandi-mandi matian, mandi baya, mandi bepapai dan badudus.
Dinamakan mandi baya karena menggunakan antara lain banyu baya, air yang disiapkan oleh bidan khusus untuk keperluan tersebut. Dinamakan bapapai karena memapai, yaitu memercikan air dengan berkas daun-daunan, merupakan salah satu acara pokok dalam upacara ini. Badudus ialah istilah lain bagi upacara mandi (bandingkan dengan duduk dalam ras. demikian pula mandi-mandi atau bamandi-mandi. Tambahan kata batian pada istilah mandi-mandi untuk membedakannya dengan upacara mandi lainnya (hamil, batian, memperoleh hamil). Kata baya dalam ungkapan banyu baya dan mandi baya tidak jelas artinya.
Untuk mengetahui makna atau pengertian, baiklah kita lihat atau kita tinjau dari pengertian istilah atau nama dari upacara ini, yaitu Betapung Tawar Tian Tiga Bulan. Betapung berasal dari kata tapung dalam bahasa Banjar maksudnya mengikat atau mendekatkan antara satu benda dengan benda yang lain. Ba adalah satu awalan dalam bahasa Banjar, di mana digunakan untuk menunjukan pekerjaan dan berfungsi sebagai penegas dari kata tapung. Sedangkan tawar berarti terang atau selamat.
Sedangkan tian maksudnya adalah kehamilan atau hamil atau kandungan yang berada dalam rahim ibu yang sedang mengandung.
Oleh Karena itu Batapung Tawar Tian Tiga Bulan berarti suatu upacara yang bertujuan untuk mendapatkan keselamatan bagi wanita yang sedang hamil atau mengandung tiga bulan.
Secara kata atau istilah berarti bahwa Batapung Tawar Tian Tiga Bulan ialah memercikan air tepung tawar kepada wanita yang sedang hamil tiga bulan.
2. Waktu Penyelenggaraan Upacara
Upacara mandi ini harus dilaksanakan pada umur kehamilan tujuh bulan atau tidak lama sesudahnya. Upacara mandi ini harus dilaksanakan pada waktu turun bulan, khususnya pada hari-hari dalam minggu ke tiga bulan Arab. Apabila karena sesuatu hal upacara mandi tidak dapat dilaksanakan pada waktu tersebut, pelaksanaannya ditunda pada bulan berikutnya. Juga upacara ini harus dilaksanakan pada waktu turun matahari, upacara ini biasanya dilakukan sekitar jam 14.00 dan tidak pernah setelah jam 16.00. Secara darurat upacara mandi ini pernah dilaksanakan di Dalam Pagar, yaitu pada saat si wanita sudah hampir melahirkan. Si wanita ini sudah lama sakit akan melahirkan, dan oleh bidan yang menolongnya dinyatakan bahwa meskipun si wanita bukan keturunan yang harus melakukan upacara itu, tetapi si bayi mengharuskannya melalui ayahnya.
Oleh karena itu upacara mandi secara darurat dilaksanakan, yaitu hanya sekedar menyiram dan memerciki si ibu dengan banyu baya. Segera setelah selesai dimandikan tersebut konon lahirlah bayinya.
3. Tempat Penyelenggaraan Upacara
Para informan di Dalam Pagar menyatakan upacara ini harus dilaksankan di dalam pagar mayang. Pada upacara yang berhasil diamati di Akar Bagantung dan Teluk Selong pada tahun 1979, pagar mayang memang digunakan, tetapi pada upacara mandi yang dilaksanakan di Dalam Pagar pada tahun 1980, tidak dibangun pagar mayang, melainkan cukup dilaksanakan di atas palatar belakang.
4. Pihak yang Terlibat dalam Upacara
1.        Orang tua dari kedua belah pihak baik itu ibu kandung atau ibu mertua.
2.        ·      Saudara-saudara, kerabat-kerabat seperti julak (saudara ibu), uma kacil (adik ibu)   dan begitu pula dari pihak mertua.
3.        Di pimpin oleh bidan kampong (dukun beranak) dan Tuan Guru (mualim) yang membacakan doa selamat setelah upacara berakhir.
Selain pihak-pihak di atas masih ada yang terlibat dalam upacara tersebut, yakni para undangan yaitu wanita-wanita tetangga dan kerabat dekat, umumnya terdiri dari ibu-ibu muda dan wanita-wanita muda yang sudah kawin. Wanita-wanita tua yang hadir biasanya adalah mereka yang banyak tahu tentang upacara ini atau karena diperlukan untuk membantu bidan melaksanakannya.
5. Persiapan dan Perlengkapan Upacara
Upacara mandi hamil mengharuskan tersedianya 40 jenis penganan atau wadai ampat puluh. Mungkin sebenarnya berjumlah 41, atau bahkan lebih. Wadai 40 ini terdiri dari: apam (putih dan merah).
1.        cucur (putih dan merah).
2.        kawari, samban, tumpiangin (sejenis rempeyek di Jawa, tetapi kali ini tidak menggunakan kacang tanah melainkan kelapa iris).
3.        ·      cicin (cincin, perhiasan dipakai di jari, dua jenis dan tiga       warna).
4.        parut hayam(perut lilit ayam, tiga warna).
5.        sarang samut (sarang semut, tiga warna).
6.        cangkaruk (cengkaruk).
7.        ketupat (empat jenis).
8.        nasi ketan putih (dengan inti di atasnya).
9.        wajik, kokoleh (putih dan merah).
10.    tapai, lemang, dodol, madu kasirat (sejenis dodol tapi masih muda).
11.    gagati (empat jenis).
12.    dan sesisir pisang mahuli.
Sedangkan hidangan untuk para tamu ialah nasi ketan (dengan inti) dan apam dari wadai 40 ini, tetapi bisa juga ketupat dan sayur tumis ditambah dengan nasi ketan, atau hidangan lainnya. Tetapi di Anduhum konon kadang-kadang ada keharusan (dahulu) menghidangkan bubur ayam, yang mungkin mengandung perlambang tertentu pula.
Di Dalam pagar mayang, atau di tempat upacara mandi akan dilaksanakan, diletakan perapen, dan berbagai peralatan mandi. Sebuah tempayan atau bejana plastik berisi air tempat merendam mayang pinang (terurai), beberapa untaian bunga (kembang berenteng), sebuah ranting kambat, sebuah ranting balinjuang dan sebuah ranting kacapiring.
Sebuah tempat air yang lebih kecil berisi banyu baya, yaitu air yang dimantrai oleh bidan, sebuah lagi berisi banyu Yasin, yaitu air yang dibacakan surah Yasin, yang sering dicampuri dngan banyu Burdah yaitu air yang dibacakan syair Burdah.
Selain itu pada pengamatan di Dalam Pagar, terdapat sebuah gelas berisi air (banyu) sungai Kitanu. untuk keperluan mandi ini terdapat juga kasai (bedak, param) temugiringdan keramas asam jawa atu jeruk nipis. Dahulu, sebagai tempat duduk si wanita hamil itu diletakan sebuah kuantan (sejenis panci terbuat dari tanah yang diletakan tengkurap dan di atasnya diletakan bamban (bamban bajalin).
Merupakan alat mandi pula ialah mayang pinang yang masih dalam seludangnya, kelapa tumbuh (berselimut kain kuning), benang lawai dan kelapa muda.
Untuk keperluan mandi hamil diperlukan dua buah piduduk. Sebuah akan diserahkan kepada bidan yang memimpin upacara dan yang membantu proses kelahiran, dan sebuah lagi sebagai syarat upacara. Yang pertama dilengkapi dengan rempah-rempah dapur, sedangkan yang sebuah lagi termasuk di dalamnya alat-alat yang diperlukan untuk melahirkan, ayam, pisau dan sarung berwarna kuning. Konon jenis kelamin ayam harus sesuai denagn jenis kelamin bayi yang akan lahir, sehingga praktis tidak mungkin disediakan, dan demikian pula alat-alat yang diperlukan untuk melahirkan biasanya juga belum tersedia, namun harus tegas dinyatakan sebagai ada. Bagian dari piduduk yang belum tersedia ini dikatakan sebagai “dihutang”, sebagai syarat menyediakan barang yang belum ada ini harus disediakan nasi ketan dengan inti, yang dihidangkan kepada hadirin setelah upacara selesai.
C. MASA PERSALINAN
1. Peralatan dan Fungsi
Peralatan dan perlengkapan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upacara kelahiran pada masyarakat Banjar adalah: upiah pinang (pelepah pinang), kapit (wadah tembikar yang bentuknya menyerupai pot bunga kecil), sembilu, sarung, kain batik, tepung-tawar, madu, kurma, garam, kukulih (bubur yang terbuat dari beras ketan), seliter beras, sebiji gula merah, sebiji buah kelapa, dan rempah-rempah untuk memasak ikan.
Upiah pinang digunakan untuk membungkus tembuni (tali pusat).Kapit digunakan sebagai tempat menyimpan tembuni. Sembilu digunakan untuk memotong tali pusat.
Sedangkan, sarung atau kain batik digunakan untuk membersihkan tubuh bayi ketika tali pusatnya telah dipotong. Tepung-tawar digunakan untuk menaburi tubuh bayi agar terlepas dari gangguan roh-roh jahat. Madu, kurma atau garam lebah digunakan untuk mengoles bibir bayi. Dan, seliter beras, sebiji gula merah, sebiji buah kelapa, rempah-rempah untuk memasak ikan diberikan kepada dukun bayi sebagai ungkapan rasa terima kasih.
2. Jalannya Upacara
a.Persiapan Kelahiran
Ketika umur kehamilan seorang ibu telah mencapai 9 bulan1, maka pihak keluarga harus mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyambut kedatangan "warga baru" (sang jabang bayi), antara lain selembar upih pinang (pelepah pinang) dan sebuah kapit (wadah yang terbuat dari tembikar yang bentuknya menyerupai pot bunga kecil). Wadah ini pada saatnya akan digunakan sebagai tempat untuk menyimpan tembuni (potongan tali pusat). Selain itu, pihak keluarga juga mengadakan selamatan dengan membuat kukulih (bubur yang terbuat dari beras ketan). Bubur tersebut diberi doa, kemudian diputarkan (dikelilingkan) di atas kepala ibu yang sedang hamil. Setelah itu bubur baru boleh dimakan oleh seluruh keluarga. Tujuannya adalah agar proses kelahiran dapat berjalan lancar.
b. Kelahiran
Proses kelahiran itu sendiri dibantu oleh dukun beranak. Setelah bayi lahir, tali pusatnya dipotong dengan sembilu (bilah bambu yang dibuat sedemikian rupa sehingga tajam). Potongan tali pusat itu kemudian ditaruh (dimasukkan) ke dalam kapit dan diberi sedikit garam. Kemudian, ditutup dengan daun pisang yang telah diasap (dilembutkan). Selanjutnya diikat dengan bamban, lalu ditanam di bawah pohon besar atau di bawah bunga-bungaan atau dihanyutkan di sungai yang deras airnya. Ini ada kaitannya dengan kepercayaan masyarakat Banjar yang menganggap bahwa jika tali pusat ditanam di bawah pohon yang besar, kelak bayi yang bersangkutan (diharapkan) akan menjadi "orang besar". Kemudian, jika di bawah bunga-bungaan maka kelak namanya akan menjadi harum. Dan, jika dihanyutkan ke sungai, maka akan menjadi pelaut. Selain itu, ada pula yang mengikatkan tembuni pada sebatang pohon. Maksudnya adalah agar kelak (setelah dewasa) tidak merantau (keluar kampung). Jadi, penanaman tembuni bergantung pada apa yang diinginkan oleh orang tua terhadap bayinya dikemudian hari. Sebagai catatan, tidak seluruh tali pusat yang diputus akan ditanam, dihanyutkan atau diikat pada sebatang pohon besar, melainkan (sisanya) ada yang disimpan baik-baik untuk dihimpun menjadi satu bersama tali pusat saudara-saudaranya yang lain. Maksudnya adalah agar kelak (setelah dewasa) tidak saling bertengkar. Dengan perkataan lain, agar sebagai saudara selalu hidup rukun dan damai.
Setelah pemotongan pusat, maka bayi dibersihkan dengan beberapa lapis sarung atau kain batik, lalu diletakkan di atas talam yang didasari oleh sarung atau kain batik pula. Selanjutnya, bayi tersebut, oleh ayahnya, diadzankan dan diqomatkan. Maksudnya agar suara yang pertama kali didengar adalah kalimat Allah. Dengan demikian, kelak bayi tersebut akan menjadi orang yang taqwa (menjalani ajaran-ajaran agama Islam dan menjauhi larangan-laranganNya). Setelah itu, bibir bayi diolesi dengan gula atau kurma dan garam. Maksudnya adalah agar kelak Sang jabang bayi dapat bermulut manis dan bertutur kata manis (semua kata-katanya diperhatikan dan diikuti orang).
c. Sesudah Kelahiran
Setelah bayi diadzankan, diqomatkan, dan bibirnya diolesi gula atau kurma, ada satu upacara lagi yang disebut bapalas-bidan. Sesuai dengan namanya, maka yang berperan dan sekaligus memimpin upacara ini adalah dukun beranak atau bidan. Dalam hal ini dukun beranak mengucapkan berbagai mantera dan menepung-tawari sang bayi. Maksudnya adalah agar Sang jabang bayi selalu didampingi oleh saudaranya yang empat1 dan terhindar dari gangguan-gangguan roh halus. Selain itu, juga agar ibunya selamat dan sejahtera. Upacara diakhiri dengan makan bersama. Sedangkan, sebagai ungkapan terima kasih keluarga kepada sang dukun beranak, ia diberi sasarah berupa: seliter beras, sebiji gula merah, sebiji kelapa, dan rempah-rempah untuk memasak ikan.
Setelah bayi berumur satu minggu atau lebih, ada upacara yang disebut tasmiah (pemberian nama), dengan susunan acara sebagai berikut: pembacaan Ayat-ayat Suci Al Quran (Surat Ali Imran), pemberian nama oleh mualim atau penghulu, dan barjanji. Sebagai catatan, dalam barjanji itu, ketika dibaca kalimat asyrakal semua hadirin berdiri, kemudian bayi dikelilingkan. Mereka, termasuk mualim atau penghulu, diminta untuk menepung-tawari si bayi dengan baburih-likat. Dengan berakhirnya upacara tasmiah ini, maka berakhirlah rangkaian upacara kelahiran pada masyarakat Banjar.
3. Nilai Budaya
Upacara kelahiran adalah salah satu upacara di lingkaran hidup individu. Upacara kelahiran yang dilakukan oleh masyarakat Banjar yang berada di Kalimantan Selatan, Indonesia ini, jika dicermati secara saksama, maka di dalamnya mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bersama.
Nilai-nilai itu antara lain: ketaqwaan, kesopan-santunan dan kewibawaan, dan kerukunan.
Nilai ketaqwaan tercermin dalam perbuatan ayah sang jabang bayi ketika bayi telah dipotong tali pusatnya, kemudian dimandikan (dibersihkan), lalu diletakkan di atas talam. Pada tahap ini sang ayah mengucapkan azdan dan qomat. Pengucapan tersebut dimaksudkan agar suara yang pertama kali didengar oleh bayi adalah kalimat Allah, sehingga diharapkan kelak akan menjadi seorang muslim yang taat terhadap agama-nya (menjalani ajaran-ajaran agama Islam dan menjauhi larangan-laranganNya).
Nilai kesopan-santunan dan kewibawaan tercermin pada pemolesan gula atau kurma dan garam pada bibir bayi, dengan maksud agar kelak sang jabang bayi dapat bermulut manis dan bertutur kata manis (semua kata-katanya diperhatikan dan diikuti orang).
Nilai kerukunan tercermin pada penyimpanan tali pusat Sang jabang bayi. Dalam hal ini tali pusat disimpan baik-baik untuk dihimpun menjadi satu dengan tali pusat saudara-saudaranya. Maksudnya adalah agar kelak (setelah dewasa) tidak bertengkar, selalu hidup rukun dan damai. (ali gufron).
C. MANGARAI (Memberi Nama).
Pada masyarakat Banjar, upacara mangarani (memberi nama) anak termasuk dalam upacara daur hidup manusia. Setelah bayi dilahirkan dari rahim ibunya merupakan kewajiban untuk memberi nama yang baik sebagai harapan bagi hidupnya kelak.
Pemberian nama dalam adat Banjar dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama dilakukan langsung oleh bidan yang membantu kelahiran anak tersebut. Proses ini terjadi saat bidan melakukan pemotongan tangking(tali/tangkai) pusat, pada saat itu bidan akan memberikan nama sementara yang diperkirakan cocok untuk anak tersebut.
Pada waktu pemotongan tangking bayi itu akan dilantakkan (dimasukkan seperti ditanam) serbuk rautan emas dan serbuk intan ke dalam lubang pangkal pusatnya. Hal ini dimaksudkan agar si anak kelak kalau sudah dewasa memiliki semangat keras dan hidup berharga seperti sifat intan dan emas.
Setelah Islam masuk ke tanah Banjar, proses mangarani anak ini berkembang secara resmi menjadi tahap berikutnya yang disebut batasmiah (tasmiyah). Pemberian nama anak tahap dua ini untuk memantapkan nama si anak. Jika nama pilihan bidan sesuai dengan keinginan orang tua maka nama itu yang akan dipakai. Tetapi apabila orang tuanya mempunyai pilihan sendiri maka melalui acara batasmiah ini diresmikan namanya. Kadang-kadang dalam menentukan nama anak ini sering pula meminta bantuan orang alim atau patuan guru (alim ulama).
Pada upacara ini akan dimulai dengan membaca ayat suci Al Quran kemudian diteruskan dengan pemberian nama resmi kepada anak yang dilakukan oleh patuan guru yang sudah ditunjuk. Begitu pemberian nama selesai diucapkan, rambut si anak dipotong sedikit, pada bibirnya diisapkan garam, madu, dan air kelapa. Ini dimaksudkan agar hidup si anak berguna bagi kehidupan manusia seperti sifat benda tersebut. Anak yang sudah diberi nama ini akan dibawa berkeliling oleh ayahnya untuk ditapung tawari dengan minyak likat baboreh. Tapung tawar diberikan oleh beberapa orang tua yang hadir di acara tersebut (terutama kakeknya) disertai doa-doa untuk si anak.

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Upacara kehamilan yang berupa upacara mandi tian mandaring sampai sekarang masih berlangsung terutama sering dilakukan di daerah-daerah pedesaan yang masih kuat dengan tradisi dalam kehidupan sehari-hari sedangkan pada masa perkotaan yang sudah mengalami perkembangan kemajuan alam pikiran dan teknologi sebagian telah meninggalkan beberapa upacara adat dan tidak lagi mengindahkan berupa hal-hal yang dipercayai yang bersifat mustahil. Kalaupun mereka lakukan, kadang-kadang sudah berpadu dengan unsur modern. Baik dalam adat upacara maupun dalam pelaksanaan upacara lebih menitik beratkan pada unsur-unsur yang praktis daripada unsur-unsur yang bersifat magis.
Bagi masyarakat Banjar yang masih memakai adat, terutama yang berhubungan dengan kehamilan dan kelahiran dengan segala pantangannya, dalam hal upacara adat selalu mereka selenggarakan walaupun diimplemantasikan dalam bentuk upacara yang sangat sederhana sekali sebatas sebagai persyaratan belaka. Karena mereka khawatir akan dapat berakibat buruk terhadap bayi yang dikandungnya apabila tidak melaksanakan upacara adat. Oleh karena tujuan utama penyelenggaraan upacara untuk mengusir roh-roh jahat yang dapat mengganggu kehamilan.

Adanya lapisan kebudayaan lama / asli dengan segala unsur religinya yang berakulturasi yang mana unsur agama lebih banyak sekali mempengaruhi adat istiadat kebudayaan masyarakat Banjar. Karena masyarakat Banjar merupakan penganut agama Islam yang kuat, namun walaupun demikian sebagian masyarakat Banjar masih mempercayai kepercayaan lama yang berupa kepercayaan terhadap roh-roh halus yang dapat mengganggu kehidupannya. Karena itu setiap upacara adat yang merupakan daur hidupnya suku Banjar dilaksanakan secara Islami namun tidak meninggalkan unsur kepercayaan lama, dan sampai sekarang masih berkembang di masyarakat walaupun sebagiannya sudah hampir punah.

0 komentar:

Posting Komentar