Kumpulan Dunia Pendidikan Anak Aceh

Minggu, 11 Oktober 2015

MAZHAB AHLUSSUNAH WALJAMAAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN POLITIK LATAR BELAKANG MUNCULNYA KHAWARID DAN TOKOH-TOKOH SERTA PEMIKIRANYA SYIAH DAN MACAM-MACAM SYIAH

BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Memahami Ahlussunah Waljamaah sebagai sebuah metode pemikiran dan pergerakan Islam masih sangat penting, khususnya dewasa ini di mana Islam tengah berada di persimpangan jalan antara kutub kanan dan kiri. Tarik menarik yang terjadi antara dua kutub ini tidak terlepas dari pergulatan Islam itu sendiri dengan realitas yang selalu hidup.
Wacana penyegaran pemahamanan keagamaan kemudian menjadi sebuah kebutuhan jaman yang tidak dapat terelakkan. Boleh dibilang bahwa unsur dinamik yang terdapat dalam agama Islam sejatinya terletak pada multi-interprestasi yang selalu berkembang dalam merespon perubahan realitas yang terjadi melalui satu titik mainstream Islam berupa pedoman kitab dan sunnah yang diyakini oleh umatnya.
Hal ini yang membedakan dengan agama-agama lainnya, penyeregamanan (konvergensi) satu model interprestasi sumber otentik agama yang dimilikinya menjadikan nilai sebuah agama itu justru kehilangan kesegarannya. Betapapun secara historis upaya memunculkan bentuk tafsir yang berbeda tersebut telah ada, namun muaranya lebih kepada pengelupasan agama yang mereka anut dari panggung kehidupan materialistik.
Dari sini sesungguhnya yang diperlukan dari kita adalah kearifan untuk menyikapi problematika multi-tafsir pemahaman keagamaan ini secara apresiatif dan tidak dianggap sebagai sebuah pencemaran agama. Yang harus dipersiapkan adalah sejauhmana kesanggupan kita melakukan dialektika yang komprehensif dalam menyaring gagasan mana yang lebih berdaya manfaat dan memberikan kemaslahatan bagi umat Islam masa kini. Di samping kebesaran hati kita untuk membuka pikiran dalam menerima berbagai varian gagasan yang dimunculkan tersebut. Tak terkecuali bagi Aswaja yang telah lama diyakini sebagai teologi yang banyak diyakini atau dianut oleh umat Islam di dunia, ia juga tak ubahnya mangalami dialektika multi-tafsir yang sama. Maka menggiring Aswaja pada satu bentuk konsep yang tunggal hanya akan menjadikan ajaran Aswaja kehilangan kesegarannya. Lebih-lebih aswaja hanya berfungsi sebagai salah satu bentuk metode berpikir dalam memahami lautan Islam dan keislaman yang maha luas.

BAB II
PEMBAHASAN

A.           Mazhab Ahlussunnah Waljamaah dan hubungannya dengan politik
Munculnya Ahlussunnah Waljamaah sebagai sebuah sistem atau paham tidak lepas dari kondisi sosial politik pada masa awal Islam yang berkisar pada paruh awal abad ke 3 H, di mana kekuasaan politik Islam baru mengalami masa transisi dari kekuasaan Dinasti Umayyah kepada Dinasti Abbasiyah. Pada masa itu sangat marak tradisi intelektual baik dalam bentuk perwujudan karya lokal ataupun pemindahan karya luar untuk proses transformasi internal. Di mana perhatian dinasti Abbasiah terhadap pengembangan ilmu pengetahuan sungguh begitu tampak, dan seakan menjadi prioritas proyek pembangunan rezim kekuasaannya. Di samping pula mulai lahirnya beragam pemikiran umat Islam dalam merespon berbagai persoalan yang baru muncul ketika itu. Tepatnya dibawah kepiawaian intelektual Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H.) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H.) Ahlulsunnah Waljama’ah sebagai sebuah paham dan teologi independen mulai diperkenalkan.
Sebelumnya di era kenabian, umat Islam masih bersatu, dalam artian tidak ada golongan A dan tidak ada golongan B, tidak ada pengikut akidah A dan tidak ada pengikut B, semua berada dibawah pimpinan dan komando Rasulullah Saw. Bila terjadi masalah atau perbedaan pendapat antara para sahabat, mereka langsung datang kepada Rasulullah Saw. itulah  yang menjadikan para sahabat saat itu tidak sampai terpecah belah, baik dalam masalah akidah, maupun dalam urusan duniawi.
Kemudian setelah  Rasulullah Saw. wafat benih-benih perpecahan mulai tampak dan puncaknya terjadi saat Imam Ali RA. menjadi khalifah. Namun perpecahan tersebut hanya bersifat politik, sedang akidah mereka tetap satu, meskipun saat itu benih-benih penyimpangan dalam akidah sudah mulai ditebarkan oleh Ibnu Saba’, seorang yang dalam sejarah Islam dikenal sebagai pencetus faham Syi’ah (Rawafid). Tapi setelah para sahabat wafat, benih-benih perpecahan dalam akidah tersebut mulai membesar, sehingga timbullah paham-paham yang bermacam-macam yang dapat dibilang ‘menyempal’ dari ajaran Rasulullah Saw.[1]
Saat itu umat Islam terpecah dalam dua bagian, satu bagian dikenal sebagai golongan-golongan ahli bid’ah, atau kelompok-kelompok sempalan dalam Islam, seperti Mu’tazilah, Syi’ah (Rawafid), Khawarij dan lain-lain. Sedang bagian yang satu lagi adalah golongan terbesar, yaitu golongan orang-orang yang tetap berpegang teguh kepada apa-apa yang dikerjakan dan diyakini oleh Rasulullah Saw. bersama sahabat-sahabatnya.
Golongan yang terakhir inilah yang kemudian menamakan golongan dan akidahnya Ahlus Sunnah Waljamaah. Jadi golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah golongan yang mengikuti sunnah-sunnah nabi dan jamaatus shohabah. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW : “bahwa golongan yang selamat dan akan masuk surga (al-Firqah an Najiyah) adalah golongan yang mengikuti apa-apa yang aku (Rasulullah Saw) kerjakan bersama sahabat-sahabatku.
Dengan demikian akidah Ahlus Sunnah Waljamaah adalah akidah Islam yang dibawa oleh Rasulullah dan golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah umat Islam.  Sedang golongan-golongan ahli bid’ah, seperti Mu’tazilah, Syi’ah (Rawafid) dan lain-lain, adalah golongan yang menyimpang dari ajaran Rasulullah Saw yang berarti menyimpang dari ajaran Islam. Dengan demikian hakekatnya embrio akidah Ahlus Sunnah Waljamaah itu sudah ada sebelum lahirnya Abu Hasan al-Asyari dan al-Maturidi. Begitu pula sebelum timbulnya ahli bid’ah atau sebelum timbulnya kelompok-kelompok sempalan.
Sekalipun pemahaman tentang klaim keselamatan yang hanya dimiliki oleh kelompok Aswaja telah banyak dikritik oleh banyak pemikir dan ulama Islam, khususnya  dari aspek penjabaran klasifikasi perpecahan yang terjadi di tubuh umat Islam ke dalam angka pas 73 kelompok, diragukan oleh sebagian ulama. Contohnya beberapa ulama seperti Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429 H), atau as-Sahrasthani (w. 548 H), dan Ibnu al-Jauzi (w. 597 H)  lebih memahami redaksional hadits perpecahan umat Islam (Hadits Furqah) secara harafiah. Sehingga berkonsekuensi pada upaya mereka untuk mencocok-cocokkan kelompok Islam yang dianggap sempalan sampai pas mencapai 72 kelompok dan hanya satu kelompok saja yang selamat. Padahal secara kebahasaan, dan tafsir al-Qur’an dalam hal yang berkaitan dengan redaksi penyebutan angka, tidak mesti menunjukkan angka yang pas seperti yang termaktub, melainkan indikasi tentang banyaknya atau menjamurnya suatu hal yang menjadi obyek pembahasan. 
Contohnya, dalam ayat al-Qur’an surat at-Taubah: ayat 80, tentang istighfarnya nabi Muhammad sebanyak 70 kali atau lebih atas orang-orang yang munafiq, tidak berarti harus pas dengan 70 kali sebagaimana redaksi yang ada. Atau seperti dalam surat Luqman: ayat 27, yang menerangkan tentang 7 laut yang digunakan sebagai tinta untuk menghitung nikmat Allah Swt, tidak bermakna 7 pas, sebab sekalipun ia lebih, semisal 70 atau 700 pun akan sama hasilnya; tidak akan dapat mampu menghitung nikmat Allah dimaksud. Intinya angka yang tertera dalam redaksi hadits perpecahan umat Islam tidak bermakna harafiah (terbatas angka tertera).
Terlepas dari shahih dan tidaknya hadits di atas, kenyataannya sampai saat ini masih berlaku klaim-klaim keselamatan sebagai impak dari testimoni hadist tersebut. Jika yang dimaksud Ahlussunah Waljamaah ialah satu-satunya kelompok yang selamat dan masuk syurga, seluruh sekte dalam Islam akhirnya mengklaim sebagai Ahlussunah. Muhammad Abduh mengutip perkataan Jalauddin al-dawâni bahwa: Nashiruddin at-Thushy menganggap kelompok yang selamat tersebut adalah sekte Syi’ah Imamiyyah. [6] Sementara sebagian ulama lainnya menganggap kelompok As-Sya’irah lah kelompok yang selamat tersebut. Sedang Ibnu Taimiyyah berpandangan, kelompok ahlu hadits yang seluruh prilaku dan perkataannya senantiasa disesuaikan dengan pola hidup Rasulullah Saw lah yang paling berhak dianggap sebagai kelompok yang selamat. Dewasa ini malah baik kelompok salafi dan ahlu hadits masing-masing mengklaim sebagai pengikut ahlussunah yang paling berhak dianggap sebagai kelompok yang selamat. Bahkan sebagian pemikir kontemporer beranggapan bahwa Mu’tazilah lah yang lebih dahulu lahir dan paling berhak untuk menyandang label Ahlussunah Waljamaah ketimbang yang lainnya.
Bagi saya, terminologi keselamatan tidak harus selalu berada pada salah satu kelompok yang disebut di atas, dapat saja kebenaran diperoleh atau didapat pada seluruh kelompok Islam yang ada, baik kelompok as-Sya’irah, Syi’ah, Ahlu Hadits, ataupun Mu’tazilah. Sebagaimana sisi kekeliruan atau kesalahan dalam ijtihad yang mereka lakukan juga relatif mungkin terjadi. Mengingat perbedaan pendapat yang kerap terjadi bukan selalu pada ranah akidah atau ushuluddin, melainkan pada ranah furu’iyyah yang tidak ada kaitannya dengan persoalan justifikasi iman atau kafir. 
Dengannya kita patut meragukan kebenaran testimoni Imam as-Shahrastani: ”Jika kebenaranan dalam persoalan aqliyat (rasional) berwajah satu, maka sangat logis jika kebenaran itu pun seharusnya berada pada satu wajah kelompok Islam”, mengingat pendapat atau pandangan suatu kelompok tidak harus secara mutlak kita terima atau pun kita tolak. Pada ranah ini selalu berlaku relatifitas ijtihad yang merupakan karateristik kelenturan syariat yang dimiliki oleh Islam.[2]
B.            Latar Belakang Sejarah Munculnya Khawarid
Khawarij adalah aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul. Menurut Ibnu Abi Bakar Ahmad al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dar imam yang hak dan telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar pada masa Khulafaur Rasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik.
Nama Khawarij berasal dari kata “kharaja”  berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali.
Khawarij sebagai sebuah aliran telogi adalah kaum yang terdiri dari pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju tehadap sikap Ali bin abi Thalib yang menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminology ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim), dalam perang Shiffin pada tahun 37/648 M dengan kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan perihal persengketaan khalifah.
Kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang telah di bai’at mayoritas umat Islam, sementara Muawiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah.
Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok Muawiyah sehingga ia bermaksud menolak permintaan itu. Namun, karena  desakan pengikutnya seperti Al-asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki at-Tamimi, dan Zaid bin Husein ath-Tha’I dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukanya) untuk menghentikan peperangan.
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damainya, tetapi orang-orang khawarij menolaknya. Mereka beranggapan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah.Keputusan tahkim, yakni Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya dan mengangkat Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali sangat mengecewakan kaum khawarij sehingga mereka membelot dan mengatakan, mengapa kalian berhukum kepada manusia. Tidak ada hukum lain selain hukum yang ada disisi Allah. Imam Ali menjawab, itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan keliru. Pada saat itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Hurura.[3]
Dengan arahan Abdullah al-Kiwa mereka smpai di Harura. Di Harura, kelompok khawarij ini melanjutkan perlawanan kepada Muawiyah dan juga Ali. Mereka mengangkat seorang pemimpin bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.
1.    Tokoh-Tokoh khawarid
 Adapun tokoh-tokohnya sebagai berikut:
Abdullah bin Wahab al-Rasyidi, pimpinan rombongan sewaktu mereka berkumpul di Harura, pimpinan Khawarij pertama
1.             Urwah bin Hudair
2.             Mustarid bin sa’ad
3.             Hausarah al-Asadi
4.             Quraib bin Maruah
5.             Nafi’ bin al-azraq (pimpinan al-Azariqah)
6.             Abdullah bin Basyir
7.             Zubair bin Ali
8.             Qathari bin Fujaah
9.             Abd al-Rabih
10.         Abd al Karim bin ajrad
11.         Zaid bin Asfar
12.         Abdullah bin ibad
13.         Abdullah ibn ka’wa (al muhakkimah al ula)
14.         Najdah ibn ‘amir al hanafiy (al najdat al ‘aziriyah)
15.         Abdul karim ibn ajrad (al ajaridah)
16.         Zaid ibn al asfar (al sufriyah) 
2.    Pemikiran Khawarid
Bila dianalisis secara mendalam, pemikiran yang dikembangkan kaum khawarij dapat dikategorikan dalam tiga kategori:
politik, teologi, dan social. Kategori doktrin politik membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan masalah kenegaraan, khususnya tentang kepala Negara (khalifah), doktrin tersebut:
1.             Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam,
2.             Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat,
3.             Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkuta bersikap adil dan menjalankan syariat Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman,
4.             Khalifah sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya, utsman r.a. dianggap telah menyeleweng.
5.             Khalifah Ali adalah sah, tetapi terjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap telah menyeleweng,
6.             Muawiyah dan Amr bin Al-Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap telah mmenyeleweng,
7.             Pasukan perang jamal yang melawan Ali juga kafir.
Menurut pandangan Khawarij, bahwa keimanan itu tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Namun demikian, karena pada umumnya manusia tidak bisa memecahkan masalahnya, kaum Khawarij mewajibkan semua manusia untuk berpegang kepada keimanan, apakah dalam berfikir, maupun dalam segala perbuatannya. Apabila segala tindakannya itu tidak didasarkan kepada keimanan, maka konsekwensinya dihukumkan kafir.[4]
C.           Syi’ah
Syiah adalah aliran sempalan dalam Islam dan Syiah merupakan salah satu dari sekian banyak aliran-aliran sempalan dalam Islam. Sedangkan yang dimaksud dengan aliran sempalan dalam Islam adalah aliran yang ajaran ajarannya menyempal atau menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW, atau dalam bahasa agamanya disebut Ahli Bid’ah.
Selanjutnya oleh karena aliran aliran Syiah itu bermacam-macam, ada aliran Syiah Zaidiyah ada aliran Syiah Imamiyah Itsna Asyariah ada aliran Syiah Ismailiyah dll, maka saat ini apabila kita menyebut kata Syiah, maka yang dimaksud adalah aliran Syiah Imamiyah Itsna Asyariah yang sedang berkembang di negara kita dan berpusat di Iran atau yang sering disebut dengan Syiah Khumainiyah. Hal mana karena Syiah inilah yang sekarang menjadi penyebab adanya keresahan dan permusuhan serta perpecahan didalam masyarakat, sehingga mengganggu dan merusak persatuan dan kesatuan bangsa kita. Tokoh-tokoh Syiah inilah yang sekarang sedang giat-giatnya menyesatkan umat Islam dari ajaran Islam yang sebenarnya.
Syi’ah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok, sedangkan secara teminologis adalahsebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhamad SAW.  atau orang yang di sebut sebagai ahl al-bait.  poin penting dalam doktrin syi’ah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk agama itu bersumber dari ahl al-bait.  Mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan ahl al-bait atau para pengikutnya.
Mengenai kemunculan Syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli.  Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul pada masa akhir Umar bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintah Abi bin Abi Thalib.  Adapun menurut Watt, Syi’ah baru benar-benar muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenel dengan perang siffin.  Pasukan Ali di ceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung Ali kelak disebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap ali, kelak disebut Khawarij.
Kalangan Syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan dengan pengganti (khilafah) Nabi Muhamad SAW.Mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khaththab, dan Usman Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thaliblah yang berhak menggantikan Nabi.  kepemimpinan Ali dalam pandangan Syi’ah tersebut sesuai dengan isyarat-isyarat oleh Nabi SAW.[5]
1.  Macam-Macam Syi’ah
a.  Syi’ah Itsna Asyariyah (Syi’ah Dua Belas/Syi’ah Imamiah)
Asal-usul Penyebutan Imamiyah dan Syi’ah Itsna Asyariyah
                Dinamakan Syi’ah Imamiah karena yang menjadi dasar akidahnya adalah persoalan imam dalam arti pemimpin religio politik, yakni Ali berhak menjadi khalifah karena kecakapannya atau kemulyaan akhlaqnya, tetapi juga karena ia telah ditunjuk nas dan pantas menjadi khalifah pewaris kepemimpinan nabi Muhammad SAW. Ide tentang hak Ali dan keturunannya untuk menduduki jabatan khalifah telah ada dalam perbincangan politik di Saqifah Bani Sa’idah.
Doktrin-doktrin Syi’ah Itsna ‘Asy’ariyah
                Di dalam sekte Syi’ah itsna ‘Asy’ariyah dikenal konsep usul Ad-Dinn. Konsep ini menjadi akar atau pondasi prakmatisme agama. Konsep ushuluddin mempunyai lima akar.
b.   Syi’ah Sab’iyah (Syi’ah Tujuh)
Asal usul Penyabutan Syi’ah Sab’iyah
Syi’ah sab’iyah hanya mengakui tujuh imam yaitu Ali, Hasan, Husein, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far Ash-Shiddiq, dan Ismail bin Ja’far. Karena dinisbatkan pada imam ketujuh, Ismail bin Ja’far Ash-Shiddiq, syi’ah sab’iyah disebut juga syi’ah ismailiyah.
Doktrin Imamah dalam pandangan syi’ah sab’iyah
Para pengikut syi’ah sab’iyah percaya bahwa islam dibangun oleh tujuh pilar, seperti dijelas oleh Al-Qadhi An-nu’man dalam Da’ain al-islam. Tujuh pilar tersebut adalah iman, thaharah, sholat, zakat, saum, haji dan jihad.
c.    Syi’ah Zaidiyah
Asal-usul Penamaan Zaidiyah
Disebut Zaidiyah karena sekte ini mengakui Zaid bin Ali sebagai imam kelima, putra imam keempat, Ali zainal Abidin. kelompok ini berbeda dengan sekte Syi’ah lain yang mengakui Muhamad Al-Baqir, putra Zainal abidin yang lain, sebagai imam kelima.Dari nama Zaid bin ali inilah, nama Zaidiyah diambil. Doktrin Imamah Menurut Syi’ah Zaidiyah
Imamah, sebagaimana telah disebutkan, merupakan doktrin fundamental dalam Syi’ah secara umum. Berbeda dengan doktrin imamah yang dikembangkan syi’ah lain, syi’ah Zaidiyah mengembangkan doktrin imamah yag tipikal.
d.   Syi’ah Ghulat
Asal-usul Penamaan Syi’ah Ghulat
Istilah Ghulat berasal dari kata ghala-yaghlu-ghuluw artinya bertambah dan naik.
Syi’ah Ghulat adalah kelompok pendukung ali yang memiliki sikap berlebih-lebihan atau ekstrim (exaggeration).
Gelar ekstrim (ghuluw) yang diberikan kepada kelompok ini berkaitan dengan pendapatnya yang janggal,yakni ada beberapa orang yang secara khusus dianggap Tuhan dan juga ada beberapa orang yang dianggap Rasul setelah nabi Muhamad.
Doktrin-doktrin Syi’ah Ghulat
Menurut syahrastani, ada empat doktrin yang membuat mereka ektrim, yaitu tanasukh, bada’, raj’ah dan tasbih.moojan momen menambahkan dengan hulul dan ghayba.[6]

BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Persoalan akidah merupakan sebuah pesoalan yang sangatlah penting. Sebab akidah menentukan dalam pengaplikasian amalan agama dalam kehidupan.Dari uraian diatas, setidaknya kita bisa tahu tentang pemikiran kalam yang insyaallah benar dan sesuai dengan apa yang telah di ajarkan beliau Rasulullah SAW, yakni Ahlussunnah,yang beroedoman pada Al-Qur’an dan Hadits, serta ijma’dan qiyas. Namun meskipun kita berada pada suatu kelompok yang dianggap benar,namun kita tetap tidak boleh merasa paling benar dan menyalahkan yang lain.Sebagai generasi sekarang tentu sulit bagi kita untuk mengamalkan islam secara kaffah, Sebab kita tidak tahu beliau Rasulullah SAW secara langsung. Namun setidaknya kitaa telah berusaha untuk mengamalkan apa yang diajarkan beliau melalui perantara ulama-ulama. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang beruntung, amin ya robbal’alamiin.
DAFTAR PUSTAKA
[1].    Abdurrahman Badawi, Mazhab Al-Islamiyyin, (Dar Ilmi lil Al-Malayin, 1984), hal. 497
[2].    Muhammad Tholhah Hasan. Ahlussunah Waljamaah dalam Persepsi dan Tradisi NU Jakarta:  aniuhnia Press, 2005
[3].    Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, 1951), hal. 115
[4].    Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Cet. 1; Jakarta: Pustaka Al Husna Baru: 2003), hal. 167
[5].    Abdul Kadir bin Tahir bin Muhammad, Al-Farqu Bainal Firaq  (Dar al-Kutub al-ilmiah: Beirut:  t.th). hal, 28
[6].    Nasir, Sahilun A. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010

1 komentar:

  1. Where to Play Blackjack and Why You Don't Want to Learn
    Blackjack is a game of 바카라 추천 사이트 chance for gamblers to learn the rules of blackjack and why you do not want to learn the rules of blackjack.

    BalasHapus