BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
Padri adalah sebuah nama di daerah Padang. Yang mana di daerah inilah
awal mulanya diterapkaknnya gerakan puritanisme di Indonesia. Gerakaan
puritanisme adalah sebuah gerakan pemurnian ajaran agama islam yang telah
terpengaruh atau telah tercemari oleh ajaran-ajaran yang datang dari luar
islam. Gerakan ini pertama kali di pelopori oleh Muhammad ibn Abdul Wahab, di
Nejd. Berkat bantuan penguasa keluarga su’ud faham ini berkembang pesat di
wilayah zajirah arabia, bahkan sempat menggoyahkan pemerintahan kerajaan turki
ustmani.
Gerakan puritanisme ini dibawa masuk ke wilayah Indonesia oleh tiga
orang kaum muda padri yang baru pulang kembali dari tanah suci selepas
melaksanakan ibadah haji, mereka itu adalah haji miskin, haji sumanik, dan haji
piobang pada tahun 1803 M. Mereka kemudian membentuk kelompok yang terkenal
dengan kelompok Harimau Nan Salapan atau kaum muda padri mereka mengadakan
penentangan terhadap prektek kehidupan beragama masyarakat Minang Kabau, yang
telah terpengaruh oleh unsur-unsur tahayul, bid’ah, dan kurafat. Masyarakatnya
sudah menyimpang jauh dari tradisi keagamaan yang telah ada.
Perjudian, penyabungan ayam, dan lain sebagainya adalah contoh
dari sebagian kecil perbuatan mereka yang waktu itu telah merupakan perbuatan
atau suatu hal yang biasa. Oleh karena itu, kedatangan tiga
orang haji ini, yang kemudian bersekutu dengan tuanku Nan Renceh dan
tuanku Imam Bonjol, melakukan gerakan kemurnian ajaran Islam. Karena aktivitas
mereka dianggap cukup membahayakan keberadaan kaum tua atau adat padri, maka
kaum tua meminta bantuan Belanda pada tahun 1821-1837 M terjadilah perang
padri.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang itu kaum Ulama mengalami
kekalahan, Ulama dalam perang paderi dalam menghadapi Belanda, bukanlah
mematahkan semangat para tokoh pejuang pembaharu itu, tetapi gerakannya semakin
hebat.Gerakan pembaharuan itu tidak lagi bersifat politik agama, tetapi
dialihkan kedalam gerakan pembaharuan pendidikan.Perang padri dianggap sebagai
pembaharuan Islam karena tujuan dari perang padri adalah memiliki kekuasaan
yang kuat dan dengan memiliki kekuatan atas kekuasaan kaum Ulama dapat
menguatkan ajaran Islam yang telah banyak di tinggalkan.
BAB II
PEMBAHASAN
Padri adalah sebuah nama di daerah Padang. Yang mana di daerah inilah
awal mulanya diterapkaknnya gerakan puritanisme di Indonesia. Gerakaan
puritanisme adalah sebuah gerakan pemurnian ajaran agama islam yang telah
terpengaruh atau telah tercemari oleh ajaran-ajaran yang datang dari luar
islam. Gerakan ini pertama kali di pelopori oleh Muhammad ibn Abdul Wahab, di
Nejd. Berkat bantuan penguasa keluarga su’ud faham ini berkembang pesat di
wilayah zajirah arabia, bahkan sempat menggoyahkan pemerintahan kerajaan turki
ustmani.
Gerakan puritanisme ini dibawa masuk ke wilayah Indonesia oleh tiga
orang kaum muda padri yang baru pulang kembali dari tanah suci selepas
melaksanakan ibadah haji, mereka itu adalah haji miskin, haji sumanik, dan haji
piobang pada tahun 1803 M. Mereka kemudian membentuk kelompok yang terkenal
dengan kelompok Harimau Nan Salapan atau kaum muda padri mereka mengadakan
penentangan terhadap prektek kehidupan beragama masyarakat Minang Kabau, yang
telah terpengaruh oleh unsur-unsur tahayul, bid’ah, dan kurafat. Masyarakatnya
sudah menyimpang jauh dari tradisi keagamaan yang telah ada.
Perjudian, penyabungan ayam, dan lain sebagainya adalah contoh
dari sebagian kecil perbuatan mereka yang waktu itu telah merupakan perbuatan
atau suatu hal yang biasa. Oleh karena itu, kedatangan tiga
orang haji ini, yang kemudian bersekutu dengan tuanku Nan Renceh dan
tuanku Imam Bonjol, melakukan gerakan kemurnian ajaran Islam. Karena aktivitas
mereka dianggap cukup membahayakan keberadaan kaum tua atau adat padri, maka
kaum tua meminta bantuan Belanda pada tahun 1821-1837 M terjadilah perang
padri.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang itu kaum Ulama mengalami
kekalahan, Ulama dalam perang paderi dalam menghadapi Belanda, bukanlah
mematahkan semangat para tokoh pejuang pembaharu itu, tetapi gerakannya semakin
hebat.Gerakan pembaharuan itu tidak lagi bersifat politik agama, tetapi
dialihkan kedalam gerakan pembaharuan pendidikan.Perang padri dianggap sebagai
pembaharuan Islam karena tujuan dari perang padri adalah memiliki kekuasaan
yang kuat dan dengan memiliki kekuatan atas kekuasaan kaum Ulama dapat
menguatkan ajaran Islam yang telah banyak di tinggalkan.[1]
Kondisi pada saat itu daerah Minangkabau jauh dari apa yang Islam
ajarkan dan syariat oleh Agama Islam. para Ulama giat mengadakan
ceramah-ceramah, pengajian, mendirikan Madrasah dan pondok pesantren yang
diberi nama Sumatera Thawalib. Pengaruh gerakan ini lalu meluas keseluruh tanah
air yang diikuti dengan bermunculannya berbagaiorganisasi Islam pada zaman
pergerakan nasional di Indonesia pada Abad ke-20 Masehi.
A. Gerakan Padri.
Gerakan padri, merupakan pergerakan keagamaan yang terinspirasi oleh
gerakan wahabi. Gerakan ini pada awalnya merupakan gerakan pembaharuan
(modernis) diawal abad 18, yang dilakukan Tuanku Nan Tuo dan murid-muridnya di
Surau kuto Tuo, Agam.
Kemunculan gerakan ini merupakan reaksi balik atas pengamalam agama yang
dilakukan kaum Adat yang banyak menyimpang dari ajaran Islam.Gerakan ini
kemudian mendapat sambutan dari ulama “tiga serangkai” Minangkabau,
sekembalinya mereka dari Mekkah pada tahun 1803.Dalam melaksanakan dakwahnya
yang berupaya mengikis khurafat dan bid’ah dalam praktek beragama umat
Minangkabau, gerakan ini mengambil pendekatan keras dan radikal.
Dengan membawa semangat pembaharuan gerakan wahabi, mereka berusaha
untuk mengikis habis praktik-praktik adat dari unsur khurafat dan
bid’ah. Upaya ini dilakukan baik melalui pelaksanaan pendidikan salaf
disurau-surau, maupun langsung berdebat secara frontal dengan kaum adat.Upaya
dakwah yang demikian kurang disenangi, bahkan mendapat tantangan keras dari
kaum adat yang berfikiran ortodok.
Pelaksanaan pemurnian yang dibawa para ulama Minangkabau tidak berjalan
mulus.Bahkan dalam melaksanakan dakwahnya para ulama Minangkabau selalu harus
berhadapan dengan kaum Adat.Hal yang serupa umpamanya juga dialami oleh H.
Miskin. Melalui suraunya, ia mencoba melakukan serangkaian pembaharuan di Batu
Tebal dan Pantai Sikat harus lari ke lintau. Akan tetapi usahanya tersebut
mengalami hambatan.Padahal, bernagai pendekatan persuasif telah dilakukannya.
Di antaranya, ia telah melakukan pendekatan dengan Penghulu Desa. Akan tetapi,
ide pembaharuannya tetap ditolak oleh masyarakat setempat. Ketidak senangan
kaum Adat terhadap kaum modernis dilampiaskan dengan cara menyerang dan
membakar desa-desa di mana kaum modernis menyebarkan ide
pembaharuannya. Akibatnya banyak di anatara kaum modrnis yang terpaksa
menyelamatkan diri dari satu desa ke desa yang lain, hingga ke Bukit Kemang. Di
daerah ini, kaum modernis mendapat perlindungan dari Tuanku Nan Renceh, seorang
murid kesayangan Tuanku Nan Tuo, bahkan mendukung gerakan kaum modernis dalam
menyebarkan gerakan Wahabi. Disinilah awal terbentuknya Gerakan Paderi, dalam
melaksanakan ide pembaharuannya.
Karena sering mendapat tantangan dari kaum Adat dan masyarakat setempat,
kaum modernis tidak segan-segan melakukan penyerangan dan bahkan dengan
membakar.
Pendekatan ini akhirnya membuat Tuanku Nan Tuo tidak simpatik dan tidak
mau menggunakan pengaruhnya untuk membantu perjuangan kaum Padri.Untuk itu,
kaum Padri kemudian melakukan dukungan dengan para ulama lainnya yang memiliki
pengaruh dalam komunitas masyarakat Minangkabau, di antaranya Tuanku
Mansianang.
B. Upaya Yang Dilakukan Kaum Padri.
Upaya yang dilakukan kaum Padri dalam memurnikan ajaran Islam dari
khurafat dan bid’ah, tetap berlangsung, meskipun dengan berbagai tantangan dan
hambatan dari kaum Adat.Pada tahun 1870 pemerintah kolonial Belanda menerapkan
undang-undang yang mengatur hidup rakyat banyak, termasuk kehidupan keagamaan
mereka.Karena kebijakan dan perilaku-perilaku yang diterapkan oleh pemerintah
kolonial dan kepentingan minoritas Kristen yang kontra produktif dengan
kenyataan masyarakat pribumi yang beragama Islam, muncullah beberapa usaha
perlawanan dalam bentuk perang.Salah satunya yang disebut perang padri
(1821-1838) di Minangkabau.Agresi pembaharu ini disebut kaum paderi.
Dalam proses ini, sesungguhnya eksistensi kaum Padri dapat dilihat dari
dua pendekatan:
Pertama, secara eksternal, gerakan ini gerakan ini telah berhasil
membangkitkan semangat nasionalisme umat Islam, terutama intervensi kolonial
Belanda.Bahkan keberadaan gerakan ini telah merepotkan dan telah menyebabkan
kolonial Belanda menelan kerugian yang cukup besar, baik materi maupun non
materi.sikap konsistensi ini telah membuktikan bagaimana sesungguhnya surau
telah ikut andil dalam membentuk sikap istiqamah umat Islam.
Kedua secara internal, sesungguhnya gerakan ini gagal dalam membumikan
pemikiran pembaharuannya.Hal ini dapat terlihat dari suburnya praktik adat yang
bersifat sinkretis dalam praktik kehidupan beragama umat Islam Minangkabau.
Pada era sesudahnya meskipun gerakan Padri gagal dalam upaya meluruskan
praktik ibadat umat Islam dari unsur khurafat dan bid’ah, namun gerakan
pembaharuan tetap berlangsung.Sebagian besar dari tokoh gerakan ini merupakan
ulama Minangkabau yang pernah belajar di Mekkah, dibawah bimbingan
syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi yang bermazhab Syafi’i. kemerdekaan berfikir
dan berijtihad yang ditanamkan Ahmad Khatib meresap pada murid-muridnya. Akan
tetapi tidak semua hal mereka sepakat dengan pandangan gurunya itu.
Sementara itu, sejak awal 1900-an gelombang besar kedua pembaharuan
Islam kembali melanda Minangkabau. Kali ini di bawa murid-murid Syekh Ahmad
khatib.Mereka yang biasa disebut Kaum Muda ini dengan sengit menyerang Kaum
Tua, yang pada umumnya adalah para pemimpin dan pengajar di surau-surau.Kaum
Muda menuduh surau dengan praktek tarekatnya, penuh dengan bid’ah dan khurafat,
dan karena itu perlu diberantas.
Karena itulah, Kaum Muda mendirikan Madrasah modern sebagai alternatif
pendidikan surau.Dan mereka sukses besar dengan upaya ini, sehingga bahkan
banyak surau yang ditransformasikan menjadi Madrasah.Akibatnya murid surau
merosot hebat.Tahun 1933 surau dilaporkan memiliki murid hanya sekitar 9.285
orang, sementara Madrasah mempunyai 25.292 pelajar.
1. Pengertian Perang Padri.
Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di daerah Minangkabau
(Sumatra Barat) dan sekitarnya terutama di kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803
hingga 1838.
Perang ini
merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah
agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
Istilah Padri
berasal dari kata Pidari atau Padre, yang berarti ulama yang selalu berpakaian
putih. Para pengikut gerakan padri biasanya memakai jubah putih. Sedangkan kaum
adat memakai pakaian hitam.
Selain itu
juga ada yang berpendapat bahwa disebut gerakan Padri karena para pemimpin
gerakan ini adalah orang Padari, yaitu orang-orang yang berasal dari Pedir yang
telah naik haji ke Mekah melalui pelabuhan Aceh yaitu Pedir.
Adapun tujuan
dari gerakan Padri adalah memperbaiki masyarakat Minangkabau dan mengembalikan
mereka agar sesuai dengan ajaran Islam yang murni yang berdasarkan Al-Qur’an
dan Hadist. Gerakan ini mendapat sambutan baik di kalangan ulama, tetapi
mendapat pertentangan dari kaum adat. (Mawarti, Djoened PNN, 1984:169).2 Sebab
Awal Terjadinya Perang Padri. [2]
2. Penyebab Perang Padri
Pada awalnya perang Padri disebabkan pertentangan antara golongan Adat
dengan golongan Padri. Masing-masing berusaha untuk merebut pengaruh di
masyarakat.
Kaum adat adalah orang-orang yang masih teguh dalam mempertahankan adat
didaerahnya sehingga mereka tidak berkenan dengan pembaharuan yang dibawa oleh
kaum Padri. Agama Islam yang dijalankan kaum adat sudah tidak murni, tetapi
telah terkontaminasi atau telah terkontaminasi dengan budaya setempat.
Kaum Padri
adalah golongan yang berusaha menjalankan Agama Islam secara murni sesuai
dengan Al-Qur’an dan Hadist.
Setealah kaum
Adat mengalami kekalahan, mereka meminta bantuan kepada Belanda yang akhirya
konflik ini berkembang menjadi konflik antara kaum Padri dengan Belanda.
3. Periodesasi
Gerakan Padri.
Secara umum
perang Padri dibagi dalam dua periode yaitu :
A. Periode
1803 – 1821 (Perang antara Kaum Padri Melawan kaum Adat).
1. Sebab
terjadinya Perang.
Pada tahun
1803, Minangkabau kedatangan tiga orang yang telah menunaikan ibadah haji di
Mekah, yaitu: H. Miskin dari pantai Sikat, H. Sumanik dari Delapan Kota, dan H.
Piabang dari Tanah Datar. Di Saudi Arabia mereka memperoleh pengaruh gerakan
Wahabi, yaitu gerakan yang bermaksud memurnikan agama Islam dari
pengaruh-pengaruh yang tidak baik. Mereka yang hendak menyebarkan aliran Wahabi
di Minangkabau menamakan dirinya golongan Paderi (Kaum Pidari).
Perang Padri
dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki kaum Padri
terhadap kaum Adat karena kebiasaan-kebiasaan buruk yang marak dilakukan oleh
kalangan masyarakatdi kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan
buruk yang dimaksud sepertiperjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat,
minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai
warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam.
kebiasaan ini semakin meluas danmempengaruhi kaum mudanya.
Ternyata
aliran wahabi ini ditentang oleh Kaum Adat (ajaran Islam yang bercampur dengan
adat setempat) yang terdiri dari pemimpin-pemimpin adat dan golongan bangsawan.
Pertentangan antara kedua belah pihak itu mula-mula akan diselesaikan secara
damai, tetapi tidak terdapat persesuaian pendapat. Akhirnya Tuanku Nan Renceh
menganjurkan penyelesaian secara kekerasan sehingga terjadilah perang saudara
yang bercorak keagamaan dengan nama Perang Padri (1803 – 1821).
2. Jalanya
Perang.
Perang
saudara ini mula-mula berlangsung di Kotalawas. Selanjutnya menjalar ke
daerah-daerah lain. Pada mulanya kaum Paderi dipimpin Datuk Bandaro melawan
kaum Adat di bawah pimpinan Datuk Sati. Karena Datuk Bandaro meninggal karean
terkena racun, selanjutnya perjuangan kaum Padri dilanjutkan oleh Muhammad
Syahab atau Pelo (Pendito) Syarif yang kemudian dikenal dengan nama Tuanku Imam
Bonjol karena berkedudukan di Bonjol. Tuanku Imam merupakan anak dari Tuanku
Rajanuddin dari Kampung Padang Bubus,Tanjung Bungo,daerah Lembah Alahan Pajang.Dalam
perang itu, kaum Padri mendapat kemenangan di mana-mana.
Sejak tahun
18815 kedudukan kaum Adat makin terdesakkarena keluarga kerajaan Minangkabau
terbunuh di Tanah Datar, sehingga kaum Adat (penghulu) dan keluarga kerajaan
yang masih hidup meminta bantuan kepada Inggris (di bawah Raffles yang saat itu
masih berkuasa di Sumatera Barat).
Karena
Inggris segera menyerahkan Sumatera Barat kepada Belanda, maka kaum Adat
meminta bantuan kepada Belanda, dengan janji kaum Adat akan menyerahkan
kedaulatan seluruh Minangkabau (10 Februari 1821). Permintaan itu sangat
menggembirakan Belanda yang memang sudah lama mencari kesempatan untuk
meluaskan kekuasaannya ke daerah tersebut.
3. Pemimipin
yang terlibat.
Kaum Pidari
dipimpin oleh Datuk Bandaro, Datuk Malim Basa,Tuanku Imam Bonjol Tuanku
Pasaman, Tuanku Nan Renceh, dan Tuanku Nan Cerdik.
Kaum Adat
dipimpin oleh Datuk Sati.
B. Periode
1821 – 1838 (Perang antara Kaum Padri Melawan Belanda).
Sejak
disetujuinya perjanjian antar kaum adat dengan Belanda mengenai penyerahan
kerajaan Minangkabau kepada Belanda pada tanggal 10 Februari 1821, hal ini
menjadi tanda
dimulainya keikutsertaan Belanda dalam melawankaum Padri.
Dalam perang
antara kaum Padri melawan Belanda, jalanya perang dibagi menjadi tiga periode:
1. Periode I
(Tahun 1821 – 1825).
Periode
pertama ini ditandai dengan meletusnya perlawanan di seluruh daerah
Minangkabau. Di bawah pimpinan Tuanku Pasaman, kaum Paderi menggempur pos-pos
Belanda yang ada di Semawang, Sulit Air, Sipinan, dan tempat-tempat lain. Pertempuran
menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Tuanku Pasaman, kemudian
mengundurkan diri ke daerah Lintau, sebaliknya Belanda yang telah berhasil
menguasai lembah Tanah Datar, mendirikan benteng pertahanan di Batusangkar (
Fort Van den Capellen) dan Benteng Fort de Kockdi Bukittinggi.
Ternyata
Belanda hanya dapat bertahan di benteng-benteng itu saja.
Daerah luar
benteng masih tetap dikuasai oleh kaum Pidari. Belanda mengalami kekalahan di
mana-mana, bahkan pernah mengalami kekalahan total di Muara Palam dan di
Sulit Air.
Untuk itu,
Belanda mulai mendekati kaum Padri ntuk melakukan perdamaian dan pada tanggal
22 Januari 1824 Belanda berhasil mengadakan perdamaian dengan kaum Padri di
Masang dan di daerah VI Kota, isinya: kedua belah pihak akan mentaati batasnya
masing-masing. Adanyaperundingan ini sebenaranya hanya menguntungkan pihak
Belanda untk menunda waktu guna memperkuatdiri.Setelah berhasil
memperkuat pertahannanya,Belanda tidak mau mentaati perjanjian dan dua bulan
kemudian Belanda meluaskan daerahnya.
2. Periode II
(Tahun 1825 – 1850).
Pada periode
ini ditandai dengan meredanya pertempuran. Kaum Padri perlu menyusun kekuatan,
sedangkan pihak Belanda dalam keadaan sulit, sebab baru memusatkan perhatiannya
dan pengeriman pasukan untuk menghadapi perlawanan Diponegoro di Jawa Tengah.
Belanda mencari akal agar dapat berdamai dengan kaum Padri. Dengan perantaraan
seorang bangsa Arab yang bernama Said Salima ‘Ijafrid, Belanda berhasil
mengadakan perdamaian dengan kaum Padri tanggal 15 November 1825 di Padang,
yang isinya:
Kedua belah
pihak tidak akan saling serang menyerang.
Kedua belah
pihak saling melindungi orang-orang yang sedang pulang kembali dari
pengungsian.
Kedua belah
pihak akan saling orang-orang yang sedang dalam perjalanan dan berdagang.
Belanda akan
mengakui kekuasaan Tuanku-Tuanku di Lintau, Limapuluhkota, Telawas dan Agam.
3. Periode
III (Tahun 1830-1838).
Periode
ketiga ini ditandai dengan perlawanan di kedua belah pihak makin menghebat.
Perang Diponegoro di Jawa Tengah telah dapat diselesaikan Belanda dengan tipu
muslihatnya. Perhatiannya lalu dipusatkan lagi ke Minangkabau. Maka berkobarlah
Perang Padri periode ketiga.
Belanda telah
mengingkari Perjanjian Padang. Pertempuran mulai berkobar di Naras daerah
Pariaman. Naras yang dipertahankan oleh Tuanku Nan Cerdik diserang oleh Belanda
sampai dua kali tetapi tidak berhasil. Setelah Belanda menggunakan senjata yang
lebih lengkap di bawah pimpinan Letnan Kolonel Elout yang dibantu Mayor
Michiels, Naras dapat direbut oleh Belanda.
Tuanku Nan
Cerdik menyingkir ke Bonjol, selanjutnya daerah-daerah kaum Pidari dapat
direbut oleh Belanda satu demi satu, sehingga pada tahun 1832 Bonjol dapat
dikuasai oleh Belanda.
Pada tahun
1832, Tuanku Imam Bonjol berdamai dengan Belanda. Akan tetapi ketenteraman itu
tidak dapat berlangsung lama, karena rakyat diharuskan:
• Membayar
cukai pasar dan cukai mengadu ayam.
• Kerja rodi
untuk kepentingan Belanda.
Dengan
hal-hal tersebut di atas, sadarlah kaum Adat dan kaum Pidari bahwa sebenarnya
mereka itu hanya diperalat oleh Belanda. Perasaan nasionalisme mulai timbul dan
menjiwai mereka masing-masing. Selanjutnya terjadilah perang nasional melawan
Belanda. Pada tahun 1833 seluruh rakyat Sumatera Barat serentak menghalau
Belanda. Bonjol dapat direbut kembali dan semua pasukan Belanda di dalamnya
dibinasakan. Karena itu Belanda mulai mempergunakan siasat adu domba (devide et
empera).
Dikirimkanlah
Sentot beserta pasukan-pasukannya yang menyerah kepada Belanda waktu Perang
Diponegoro ke Sumatera Barat untuk berperang melawan orang-orang sebangsanya
sendiri. Tetapi setelah Belanda mengetahui bahwa Sentot mengadakan hubungan
dengan kaum Pidari secara rahasia, Belanda menjadi curiga.
Pasukan
Sentot ditarik kembali ke Batavia dan Sentot diasingkan ke Bangkahulu.
Untuk mengakhiri Perang Padri itu, Belanda berusaha menarik hati para raja di
Minangkabau dengan cara mengeluarkan Plakat Panjang (1833) yang isinya:
Penduduk
dibebaskan dari pembayaran pajak berat dan pekerjaan rodi.
Perdagangan
hanya dilakukan dengan Belanda saja.
Kepala daerah
boleh mengatur pemerintahan sendiri, tetapi harus menyediakan sejumlah orang
untuk menahan musuh dari dalam atau dari luar negeri.
Para pekerja
diharuskan menandatangani peraturan itu. Mereka yang melanggar peraturan dapat
dikenakan sanksi.
4 Akhir
Perang Padri.
Di tahun 1835
kaum Padri di Bonjol mulai mengalami kemunduran, hal tersebut disebabkan
ditutupnya jalan-jalan penghubung dengan daerah lain oleh paskan Belanda. Pada
tanggal 11-16 Juni 1835 sayap kanan pasukan Belanda berhasil menutup jalan yang
menghubungkan benteng Bonjol dengan daerah barat dan menembaki benteng Bonjol.
Setelah
daerah-daerah sekitar Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda,. Membaca situasi yang
gawat ini, pada tanggal 10 Agustus 1837, Tuanku Imam Bonjol menyatakan bersedia
untuk berdamai. Belanda mengharapkan bahwa perdamaian ini disertai dengan
penyerahan. Tetapi Belanda menduga bahwa ini merupakan siasat dari Tuanku Imam
Bonjol guna mengulur waktu, agar dapat mengatur pertahanan lebih baik, yaitu
membuat lubang yang menghubungkan pertahanan dalam benteng dengan luar benteng,
di samping untuk mengetahui kekuatan musuh di luar benteng.
Kegagalan
perundingan ini menyebabkan berkobarnya kembali pertempuran pada tanggal 12
Agustus 1837. Belanda memerlukan waktu dua bulan untuk dapat menduduki benteng
Bonjol, yang didahului dengan pertempuran yang sengit. Meriam-meriam Benteng
Bonjol tidak banyak menolong, karena musuh berada dalam jarak dekat.
Perkelahian satu lawan satu tidak dapat dihindarkan lagi. Korban berjatuhan
dari kedua belah pihak. Pasukan Padri terdesak dan benteng Bonjol dapat
dimasuki oleh pasukan Belanda.
Pada tanggal 25 Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol beserta sisa pasukannya
menyerah kepada Belanda. Tuanku Imamm Bonjol kemudian dibuang ke Cianjur, Jawa
Barat. Pada tanggal 19 Januari 1839 dibuang ke Ambon, lalu pada tahun 1841
dipindahkan ke Manado hingga meninggal dunia pada tanggal 6 November 1864.
Walaupun
Tuanku Imam Bonjol telah menyerah tidak berarti perlawanan kaum Padri telah
dapat dipadamkan. Perlawanan masih terus berlangsung dipimpin oleh Tuanku
Tambusi, namun Tuanku Tambusi berhasil dikalahkan oleh Belanda pada tanggal 28
Oktober 1838.
Dengan demikian, secara umum perlawanan kaum Padri dapat dipatahkan pada akhir
tahun 1838. Maka kekuasaan Belanda mulai sejak itu ternanam di Sumatra Barat.[3]
BAB III
PENUTUP
1.Kesimpulan.
Padri adalah
peperangan yang berlangsung di daerah Minangkabau (Sumatra Barat) dan
sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838.
Perang ini berawal dari konflik internal antara kaum adat dengan kaum Padri
(orang-orang yang ingin meluruskan ajaran Islam).
Perang ini
terjadi dalam dua periode, yaitu:
Periode I
1803-1821 (Perlawanan kaum Padri dengan kaum Adat)
Periode
II 1821-1838 (Perlawanan kaum Padri dengan Belanda).
Dalam perang
melawan Belanda, dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu:
Tahap I
1821-1825 (meningkatnya perlawanan rakyat).
Tahap II
1825-1830 (perlawanan menurun, Belanda fokus pada perang Diponegoro di Jawa
Tengah).
Tahap III 1830-1838 (Kaum
Padri mengalami kekalahan).
Akhir dari
perang padri ditandai dengan semakin banyaknya wilayah kekuasaan kaum padri
yang jatuh ketangan Belanda, selain itu juga menyerahnya Tuanku Imam
Bonjol beserta sisa
pasukannya menyerah kepada Belanda Pada tanggal25 Oktober1837.
Dengan
demikian, secara umum perlawanan kaum Padri dapat dipatahkan pada akhir tahun
1838. Maka kekuasaan Belanda mulai sejak itu ternanam di Sumatra Barat.
2.Saran
Dengan adanya makalah ini penulis berharap supaya pembaca dapat mengetahui
serta menambah wawasan tentang perang Padri yang terjadi tahun 1803-1838. Penulis
menyarakan supaya pembaca mencari sumber referensi lain supaya pengetahuan
semakin luas. Dan semoga makalah ini dapat menumbuhkan rasa nasionalisme kita
terhadap bangsa Indonesia.
2. Rickleft.1999.
Sejarah Indonesia Moderen. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
1. Habib, Mustopo. 2007.Sejarah SMA Kelas XI Program IPS. Jakarta:
Yudistira
Jammy Monkey | casino, gambling, entertainment, poker, gambling
BalasHapusJammy Monkey, a new 수원 출장마사지 poker game based on the popular 양주 출장샵 American family classic and also available on 통영 출장샵 mobile. 군산 출장안마 Play 포항 출장마사지 your favorite slots, table games,