BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang.
Berbagai
upacara mandi yang ditemukan di lapangan ialah upacara mandi menjelang kawin
pertama kali, upacara mandi bagi seorang wanita yang pertama kali hamil,
berbagai upacara mandi sebagai cara penyembuhan, dan mandi sebagai salah satu
syarat atau bentuk amalan.
Tidak
semua wanita yang hamil pertama kali harus menjalani upacara mandi. Konon yang
harus menjalaninya ialah yang keturunannya secara turun temurun memang harus
menjalaninya. Pada upacara mandi hamil, mungkin si calon ibu sebenarnya bukan
tergolong yang wajib menjalaninya, tetapi konon bayi yang dikandungnya mungkin
mengharuskannya melalui ayahnya dan dengan demikian si calon ibu ini pun harus
menjalaninya pula. Lalai melakukan upacara itu konon menyebabkan yang
bersangkutan atau salah seorang anggota kerabat dekat “dipingit”. Sebagai
akibat peristiwa “pemingitan” itu proses kelahiran berjalan lambat.
Seperti
sudah dikemukakan di atas, tidak semua wanita hamil pertama kali harus
melakukan upacara mandi. Yang harus melakukannya hanyalah mereka yang memang
keturunan dari orang-orang yang selalu melaksanakannya. Namun dalam
kenyataannya banyak ibu-ibu muda yang melaksanakan upacara itu dalam bentuknya
yang sangat sederhana, meskipun konon sebenarnya tidak ada keharusan baginya
untuk melakukan hal itu.
Untuk
melaksanakan upacara ini kadang-kadang dipadakan saja dengan meminta banyu
baya kepada seorang bidan, membuat banyu Yasin sendiri yang
kemudian dicampur dengan bunga-bungaan dan melakukan sendiri upacara di rumah
yang dibantu oleh wanita-wanita tua yang masih berhubungan kerabat dekat
dengannya atau dengan suaminya.
Sebagai
syarat melaksanakan upacara mandi ini disiapkan nasi ketan dengan inti,
yang dimakan bersama setelah upacara selesai. Upacara mandi yang demikian
sederhana ini sebenarnya juga dilaksanakan pada kehamilan ketiga, kelima dan
seterusnya di Dalam Pagar dan sekitarnya, khususnya apabila terdapat kesukaran
pada kehamilan sebelumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
MASA KEHAMILAN
1. Upaya Mendapatkan Keselamatan
Wanita
yang hamil pertama kali (tian mandaring) harus diupacara mandikan. Keharusan
melakukan upacara mandi hamil ini konon hanyalah berlaku bagi wanita nag turun
temurun melakukan upacara ini. Seorang wanita yang keturunannya seharusnya
tidak mengharuskan dilakukannya upacara itu, tetapi karena kondisi si bayi
dalam kandungan mengharuskannya melalui ayahnya, si wanita itu harus pula
menjalaninya. Jika tidak konon wanita itu dapat dipingit, sehingga
umpamanya si bayi lambat lahir dan akibatnya ia sangat menderita karenanya.
Dalam
kehidupan masyarakat Banjar yang masih terikat akan tradisi lama, apabila
seseorang wanita yang sedang hamil untuk kali pertamanya, ketika usia kehamilan
mencapai tiga bulan atau pada kehamilan tujuh bulan maka diadakanlah suatu upacara
dengan maksud atau tujuan utama untuk menolak bala dan mendapatkan keselamatan.
Karena menurut kepercayaan sebagian masyarakat Banjar, bahwa wanita yang sedang
hamil tersebut suka diganggu mahluk-mahluk halus yang jahat.
Upacara
ini juga mempunyai maksud dan tujuan untuk keselamatan bagi ibu yang sedang
hamil serta keselamatan bagi seluruh keluarganya. Bagi masyarakat Banjar Hulu
Sungai khususnya, menganggap bahwa angka ganjil seperti 3, 7 dan 9 bagi yang
hamil merupakan saat-saat yang dianggap sakral. Bukankah kelahiran sering
terjadi pada bulan ke7 dan bulan ke-9 Dan menurut kepercayaan mereka bahwa
roh-roh halus dan hantu selalu berusaha mengganggu si ibu dan dan bayi dalam
kandungan, karena menurut mereka bahwa wanita hamil 3 bulan itu baunya harum.
Pada
masyarakat Banjar Batang Banyu telah diketahui ada suatu upacara yang
disebut Batapung Tawar Tian (hamil) Tiga Bulan,
menyusul kemudian dilaksanakan upacara mandi Tian Mandaring ketika
kehamilan telah berusia tujuh bulan. Tetapi pada masyarakat Banjar Kuala sampai
saat ini hanya mengenal dan melakukan upacra mandi Tian Mandaring atau
sering pula disebut upacara mandi Bapagar Mayang. Dikatakan
demikian karena upacara tersebut dikelilingi oleh benang yang direntangkan dari
tiang ke tiang tersebut di tebu (manisan) serta tombak (bila ada), sehingga
merupakan ruang persegi empat pada benang-benang tersebut disangkutkan
mayang-mayang pinang dan kelengkapan lainnya.
Pada
upacara Mandi Tian Mandaring ini disediakan pagar mayang, yaitu
sebuah pagar yang sekelilingnya digantungkan mayang-mayang pinang. Tiang-tiang
pagar dibuat dari batang tebu yang diikat bersama tombak. Di dalam pagar
ditempatkan perapen, air bunga-bungaan, air mayang, keramas asam kamal, kasai
tamu giring, dan sebuah galas dandang diisi air yang telah dibacakan doa-doa.
Wanita
tian mandaring yang akan mandi di upacara itu akan didandani dengan pakaian
sebagus-bagusnya. Setelah waktu dan peralatan yang ditentukan sudah siap,
wanita tian mandaring dibawa menuju pagar mayang sambil memegang nyiur balacuk dengan
dibungkus kain berwarna kuning. Saat berada dalam pagar mayang untuk
dimandikan, pakaian yang dikenakan diganti kain kuning kemudian wanita hamil
tadi didudukkan di atas kuantan batiharap dengan
beralaskan bamban bajalin. Lima atau tujuh orang wanita tua
secara bergantian menyiram dan melangir kepala wanita tian mandaring dengan air
bunga-bungaan yang telah disediakan.
Salah
seorang wanita yang dianggap paling berpengaruh diserahi tugas memegang upung
mayang yang masih terkatup tepat diatas kepala. Kemudian upung mayang tersebut
dipukul sekeras-kerasnya hanya satu kali pukulan. Apabila upung mayang tersebut
dipukul satu kali sudah pecah maka merupakan pertanda baik, bahwa wanita tian
mandaring tidak akan mengalami gangguan sampai melahirkan.
Kambang
mayang yang ada di dalam upung dikeluarkan lalu disiramkan dengan air ke kepala
sebanyak tiga kali. Siraman yang pertama tangkai posisinya harus mengarah ke
atas, siraman kedua tangkai mayang harus berada di bawah dan siraman yang
ketiga ditelentangkan dan ditelungkupkan.
Kambang
mayang yang berada di tengah-tengah diambil sebanyak dua tangkai, kemudian
diletakkan di sela-sela kedua telinga sebagai sumping. Berikutnya adalah
memasukkan lingkaran benang berulas-ulas, mulai dari kaki tiga kali berturut-turut.
Pada waktu memasukkan wanita tian mandaring maju melangkah ke depan setapak,
memasukkan kedua mundur, memasukkan ketiga maju lagi setapak.
Pada
pintu pagar mayang ditempatkan kuali tanah dan telur ayam, begitu keluar pagar
mayang kuali dan telur itu harus diinjak oleh si wanita tian mandaring sampai
pecah. Selesai upacara ini wanita tian mandaring dibawa ke dalam rumah beserta
undangan yang hanya boleh dihadiri oleh wanita. Di hadapan hadirin rambutnya
disisir, dirias dan digelung serta diberi pakaian bagus. Sebuah cermin dan
lilin yang sedang menyala diputar mengelilingi wanita tian mandaring dan
dilakukan sebanyak tiga kali, sambil ditapung tawari dengan minyak likat
baboreh. Sumbu lilin yang telah hangus disapukan ke ulu hati wanita tian
mandaring dengan maksud untuk mendapatkan keturunan yang rupawan dan baik hati.
Upacara ini diakhiri dengan bersalam-salaman sambil mendoakan wanita tian
mandaring.
Upacara
mandi dengan bepagar mayang ini kebanyakan dilaksanakan oleh
kelompok, tutus bangsawan atau tutus candi, tetapi pada kebanyakan rakyat biasa
atau orang yang tidak mampu tetapi ingin melaksanakan upacara in, maka
pelaksanaan cukup sederhana saja tanpa menggunakan pagar
mayang.Selain upacara yang berupa mandi tersebut, adapula beberapa upaya yang diusahakan
oleh para orang tua untuk anak atau menantunya yang sedang hamil sebagai wujud
sebuah pengharapan dari seluruh keluarga agar ibu yang akan melahirkan kelak
selamat dan tidak ada gangguan pada saat persalinan (kada halinan) serta anak
yang lahir sempurna keadaannya.
a.Upaya-upaya tersebut antara lain:
· Mengingatkan
anak menantunya yang sedang hamil untuk menghindari dari hal hal yang bersifat
pantangan (tabu).
· Memberikan
doa atau bacaan al-Qur’an untuk dijadikan amalan selama masa kehamilan.
· Meminta
air (banyu tawar) yang telah dibacakan doa-doa dari seorang tabib atau orang
pintar.
b. Hal-hal yang Berupa Pantangan
Sebagian dari kelompok masyarakat yang
masih memakai adat tradisi lama, hal-hal yang bersifat pantangan atau pamali
masih mereka yakini, namun sebagiannya tidak memperdulikan hal-hal yang
bersifat pantangan tersebut. Sebab sebagian beranggapan bahwa hal-hal yang
seperti tidak masuk akal (mustahil) dapat mempengaruhi kehamilan.
Hal-hal yang berupa pantangan tersebut
antara lain:
1. Tidak
boleh duduk di depan pintu, dikhawatirkan akan susah melahirkan.
2. Tidak
boleh keluar rumah pada waktu senja hari menjelang waktu maghrib, dikhawatirkan
kalau diganggu mahluk halus atau roh jahat.
3. Tidak
boleh makan pisang dempet, dikhawatirkan anak yang akan dilahirkan akan
kembar dempet atau siam.
4. Jangan
membelah puntung atau kayu api yang ujungnya sudah terbakar, karena anak yang
dilahirkan bisa sumbing atau anggota badannya ada yang buntung.
5. Jangan
meletakan sisir di atas kepala, ditakutkan akan susah saat melahirkan.
6. Dilarang
pergi ke hutan, karena wanita hamil menurut kepercayaan mereka baunya harum
sehingga mahluk-mahluk halus dapat mengganggunya.
7. Dilarang
menganyam bakul karena dapat berakibat jari-jari tangannya akan berdempet
menjadi satu.
8. Pantangan-pantangan
tersebut di atas bukan hanya pada si calon ibu saja, tetapi juga berlaku terhadap
suaminya.
c. Pemeliharaan Kehamilan dan Keselamatan
Cara pemeliharaan kehamilan tidaklah
berbeda dengan wanita-wanita dari suku lain. Pusat Kesehatan Masyarakat
(puskesmas) banyak mereka kunjungi untuk memeriksa kehamilan. Selain itu
pemeriksaan kehamilan secara tradisional pun mereka lakukan yaitu dengan cara:
1.
Melakukan pijatan atau
dengan istilah Banjar Baurut pada seorang dukun beranak
atau bidan kampung yang ahli dalam bidang pijatan (urut).
2.
Membatasi diri untuk
tidak terlalu suka minum air es.
3.
Memperbanyak makan
sayur dan buah-buahan.
4.
Jika perut terasa sakit
karena masuk angin, oleh bidan kampung disuruh meminum air
rebusan gula merah dengan jahe (tipakan).
5.
Jika kaki bengkak, maka
digosok dengan wadak panas atau ramuan beras kencur.
B. UPACARA MANDI HAMIL
1. Nama Upacara dan Tahap-tahapnya.
Berbagai
nama bagi upacara mandi hamil ialah: mandi-mandi matian, mandi baya, mandi
bepapai dan badudus.
Dinamakan mandi
baya karena menggunakan antara lain banyu baya, air yang disiapkan
oleh bidan khusus untuk keperluan tersebut.
Dinamakan bapapai karena memapai, yaitu memercikan air dengan
berkas daun-daunan, merupakan salah satu acara pokok dalam upacara ini. Badudus ialah
istilah lain bagi upacara mandi (bandingkan dengan duduk dalam ras.
demikian pula mandi-mandi atau bamandi-mandi. Tambahan
kata batian pada istilah mandi-mandi untuk
membedakannya dengan upacara mandi lainnya (hamil, batian, memperoleh hamil).
Kata baya dalam ungkapan banyu baya dan mandi
baya tidak jelas artinya.
Untuk
mengetahui makna atau pengertian, baiklah kita lihat atau kita tinjau dari
pengertian istilah atau nama dari upacara ini, yaitu Betapung Tawar Tian
Tiga Bulan. Betapung berasal dari kata tapung dalam
bahasa Banjar maksudnya mengikat atau mendekatkan antara satu benda dengan
benda yang lain. Ba adalah satu awalan dalam bahasa Banjar, di mana
digunakan untuk menunjukan pekerjaan dan berfungsi sebagai penegas dari
kata tapung. Sedangkan tawar berarti terang atau selamat.
Sedangkan tian maksudnya
adalah kehamilan atau hamil atau kandungan yang berada dalam rahim ibu yang
sedang mengandung.
Oleh Karena itu Batapung Tawar Tian
Tiga Bulan berarti suatu upacara yang bertujuan untuk mendapatkan
keselamatan bagi wanita yang sedang hamil atau mengandung tiga bulan.
Secara kata atau istilah berarti
bahwa Batapung Tawar Tian Tiga Bulan ialah memercikan air tepung
tawar kepada wanita yang sedang hamil tiga bulan.
2. Waktu Penyelenggaraan Upacara
Upacara
mandi ini harus dilaksanakan pada umur kehamilan tujuh bulan atau tidak lama
sesudahnya. Upacara mandi ini harus dilaksanakan pada waktu turun
bulan, khususnya pada hari-hari dalam minggu ke tiga bulan Arab. Apabila
karena sesuatu hal upacara mandi tidak dapat dilaksanakan pada waktu tersebut,
pelaksanaannya ditunda pada bulan berikutnya. Juga upacara ini harus
dilaksanakan pada waktu turun matahari, upacara ini biasanya dilakukan
sekitar jam 14.00 dan tidak pernah setelah jam 16.00. Secara darurat upacara
mandi ini pernah dilaksanakan di Dalam Pagar, yaitu pada saat si wanita sudah
hampir melahirkan. Si wanita ini sudah lama sakit akan melahirkan, dan oleh
bidan yang menolongnya dinyatakan bahwa meskipun si wanita bukan keturunan yang
harus melakukan upacara itu, tetapi si bayi mengharuskannya melalui ayahnya.
Oleh karena itu upacara mandi secara
darurat dilaksanakan, yaitu hanya sekedar menyiram dan memerciki si ibu
dengan banyu baya. Segera setelah selesai dimandikan tersebut konon
lahirlah bayinya.
3. Tempat Penyelenggaraan Upacara
Para informan di Dalam Pagar menyatakan
upacara ini harus dilaksankan di dalam pagar mayang. Pada upacara yang
berhasil diamati di Akar Bagantung dan Teluk Selong pada tahun 1979, pagar
mayang memang digunakan, tetapi pada upacara mandi yang dilaksanakan di
Dalam Pagar pada tahun 1980, tidak dibangun pagar mayang, melainkan cukup
dilaksanakan di atas palatar belakang.
4. Pihak yang Terlibat dalam Upacara
1.
Orang tua dari kedua
belah pihak baik itu ibu kandung atau ibu mertua.
2.
· Saudara-saudara,
kerabat-kerabat seperti julak (saudara ibu), uma kacil (adik
ibu) dan begitu pula dari pihak mertua.
3.
Di pimpin oleh bidan
kampong (dukun beranak) dan Tuan Guru (mualim) yang membacakan doa selamat
setelah upacara berakhir.
Selain pihak-pihak di atas masih ada
yang terlibat dalam upacara tersebut, yakni para undangan yaitu wanita-wanita
tetangga dan kerabat dekat, umumnya terdiri dari ibu-ibu muda dan wanita-wanita
muda yang sudah kawin. Wanita-wanita tua yang hadir biasanya adalah mereka yang
banyak tahu tentang upacara ini atau karena diperlukan untuk membantu bidan
melaksanakannya.
5. Persiapan dan Perlengkapan Upacara
Upacara
mandi hamil mengharuskan tersedianya 40 jenis penganan atau wadai ampat
puluh. Mungkin sebenarnya berjumlah 41, atau bahkan
lebih. Wadai 40 ini terdiri dari: apam (putih
dan merah).
1.
cucur (putih dan
merah).
2.
kawari, samban,
tumpiangin (sejenis rempeyek di Jawa, tetapi kali ini tidak menggunakan kacang
tanah melainkan kelapa iris).
3.
· cicin (cincin,
perhiasan dipakai di jari, dua jenis dan tiga warna).
4.
parut hayam(perut lilit
ayam, tiga warna).
5.
sarang
samut (sarang semut, tiga warna).
6.
cangkaruk (cengkaruk).
7.
ketupat (empat jenis).
8.
nasi ketan
putih (dengan inti di atasnya).
9.
wajik,
kokoleh (putih dan merah).
10. tapai,
lemang, dodol, madu kasirat (sejenis dodol tapi masih muda).
11. gagati (empat
jenis).
12. dan
sesisir pisang mahuli.
Sedangkan
hidangan untuk para tamu ialah nasi ketan (dengan inti)
dan apam dari wadai 40 ini, tetapi bisa juga ketupat dan
sayur tumis ditambah dengan nasi ketan, atau hidangan lainnya. Tetapi di
Anduhum konon kadang-kadang ada keharusan (dahulu) menghidangkan bubur ayam,
yang mungkin mengandung perlambang tertentu pula.
Di
Dalam pagar mayang, atau di tempat upacara mandi akan dilaksanakan,
diletakan perapen, dan berbagai peralatan mandi. Sebuah tempayan atau
bejana plastik berisi air tempat merendam mayang pinang (terurai),
beberapa untaian bunga (kembang berenteng), sebuah ranting kambat, sebuah
ranting balinjuang dan sebuah ranting kacapiring.
Sebuah
tempat air yang lebih kecil berisi banyu baya, yaitu air yang dimantrai
oleh bidan, sebuah lagi berisi banyu Yasin, yaitu air yang dibacakan surah
Yasin, yang sering dicampuri dngan banyu Burdah yaitu air yang
dibacakan syair Burdah.
Selain
itu pada pengamatan di Dalam Pagar, terdapat sebuah gelas berisi air (banyu)
sungai Kitanu. untuk keperluan mandi ini terdapat juga kasai (bedak,
param) temugiringdan keramas asam jawa atu jeruk nipis. Dahulu, sebagai
tempat duduk si wanita hamil itu diletakan sebuah kuantan (sejenis
panci terbuat dari tanah yang diletakan tengkurap dan di atasnya
diletakan bamban (bamban bajalin).
Merupakan alat mandi pula
ialah mayang pinang yang masih dalam seludangnya, kelapa tumbuh
(berselimut kain kuning), benang lawai dan kelapa muda.
Untuk
keperluan mandi hamil diperlukan dua buah piduduk. Sebuah
akan diserahkan kepada bidan yang memimpin upacara dan yang membantu proses
kelahiran, dan sebuah lagi sebagai syarat upacara. Yang pertama dilengkapi
dengan rempah-rempah dapur, sedangkan yang sebuah lagi termasuk di dalamnya
alat-alat yang diperlukan untuk melahirkan, ayam, pisau dan sarung berwarna kuning.
Konon jenis kelamin ayam harus sesuai denagn jenis kelamin bayi yang akan
lahir, sehingga praktis tidak mungkin disediakan, dan demikian pula alat-alat
yang diperlukan untuk melahirkan biasanya juga belum tersedia, namun harus
tegas dinyatakan sebagai ada. Bagian dari piduduk yang belum tersedia
ini dikatakan sebagai “dihutang”, sebagai syarat menyediakan barang yang belum
ada ini harus disediakan nasi ketan dengan inti, yang
dihidangkan kepada hadirin setelah upacara selesai.
C. MASA PERSALINAN
1. Peralatan dan Fungsi
Peralatan
dan perlengkapan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upacara kelahiran pada
masyarakat Banjar adalah: upiah pinang (pelepah pinang), kapit (wadah tembikar
yang bentuknya menyerupai pot bunga kecil), sembilu, sarung, kain batik,
tepung-tawar, madu, kurma, garam, kukulih (bubur yang terbuat dari beras
ketan), seliter beras, sebiji gula merah, sebiji buah kelapa, dan rempah-rempah
untuk memasak ikan.
Upiah pinang digunakan untuk membungkus
tembuni (tali pusat).Kapit digunakan sebagai tempat menyimpan tembuni. Sembilu
digunakan untuk memotong tali pusat.
Sedangkan,
sarung atau kain batik digunakan untuk membersihkan tubuh bayi ketika tali
pusatnya telah dipotong. Tepung-tawar digunakan untuk menaburi tubuh bayi agar
terlepas dari gangguan roh-roh jahat. Madu, kurma atau garam lebah digunakan
untuk mengoles bibir bayi. Dan, seliter beras, sebiji gula merah, sebiji buah
kelapa, rempah-rempah untuk memasak ikan diberikan kepada dukun bayi sebagai
ungkapan rasa terima kasih.
2. Jalannya Upacara
a.Persiapan Kelahiran
Ketika
umur kehamilan seorang ibu telah mencapai 9 bulan1, maka pihak keluarga harus
mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyambut kedatangan
"warga baru" (sang jabang bayi), antara lain selembar upih pinang (pelepah
pinang) dan sebuah kapit (wadah yang terbuat dari tembikar yang bentuknya
menyerupai pot bunga kecil). Wadah ini pada saatnya akan digunakan sebagai
tempat untuk menyimpan tembuni (potongan tali pusat). Selain itu, pihak
keluarga juga mengadakan selamatan dengan membuat kukulih (bubur yang terbuat
dari beras ketan). Bubur tersebut diberi doa, kemudian diputarkan
(dikelilingkan) di atas kepala ibu yang sedang hamil. Setelah itu bubur baru
boleh dimakan oleh seluruh keluarga. Tujuannya adalah agar proses kelahiran
dapat berjalan lancar.
Proses
kelahiran itu sendiri dibantu oleh dukun beranak. Setelah bayi lahir, tali
pusatnya dipotong dengan sembilu (bilah bambu yang dibuat sedemikian rupa
sehingga tajam). Potongan tali pusat itu kemudian ditaruh (dimasukkan) ke dalam
kapit dan diberi sedikit garam. Kemudian, ditutup dengan daun pisang yang telah
diasap (dilembutkan). Selanjutnya diikat dengan bamban, lalu ditanam di bawah
pohon besar atau di bawah bunga-bungaan atau dihanyutkan di sungai yang deras
airnya. Ini ada kaitannya dengan kepercayaan masyarakat Banjar yang menganggap
bahwa jika tali pusat ditanam di bawah pohon yang besar, kelak bayi yang
bersangkutan (diharapkan) akan menjadi "orang besar". Kemudian, jika
di bawah bunga-bungaan maka kelak namanya akan menjadi harum. Dan, jika
dihanyutkan ke sungai, maka akan menjadi pelaut. Selain itu, ada pula yang
mengikatkan tembuni pada sebatang pohon. Maksudnya adalah agar kelak (setelah
dewasa) tidak merantau (keluar kampung). Jadi, penanaman tembuni bergantung
pada apa yang diinginkan oleh orang tua terhadap bayinya dikemudian hari.
Sebagai catatan, tidak seluruh tali pusat yang diputus akan ditanam,
dihanyutkan atau diikat pada sebatang pohon besar, melainkan (sisanya) ada yang
disimpan baik-baik untuk dihimpun menjadi satu bersama tali pusat
saudara-saudaranya yang lain. Maksudnya adalah agar kelak (setelah dewasa)
tidak saling bertengkar. Dengan perkataan lain, agar sebagai saudara selalu
hidup rukun dan damai.
Setelah
pemotongan pusat, maka bayi dibersihkan dengan beberapa lapis sarung atau kain
batik, lalu diletakkan di atas talam yang didasari oleh sarung atau kain batik
pula. Selanjutnya, bayi tersebut, oleh ayahnya, diadzankan dan diqomatkan.
Maksudnya agar suara yang pertama kali didengar adalah kalimat Allah. Dengan
demikian, kelak bayi tersebut akan menjadi orang yang taqwa (menjalani
ajaran-ajaran agama Islam dan menjauhi larangan-laranganNya). Setelah itu,
bibir bayi diolesi dengan gula atau kurma dan garam. Maksudnya adalah agar kelak
Sang jabang bayi dapat bermulut manis dan bertutur kata manis (semua
kata-katanya diperhatikan dan diikuti orang).
c. Sesudah Kelahiran
Setelah
bayi diadzankan, diqomatkan, dan bibirnya diolesi gula atau kurma, ada satu
upacara lagi yang disebut bapalas-bidan. Sesuai dengan namanya, maka yang
berperan dan sekaligus memimpin upacara ini adalah dukun beranak atau bidan.
Dalam hal ini dukun beranak mengucapkan berbagai mantera dan menepung-tawari
sang bayi. Maksudnya adalah agar Sang jabang bayi selalu didampingi oleh
saudaranya yang empat1 dan terhindar dari gangguan-gangguan roh halus. Selain
itu, juga agar ibunya selamat dan sejahtera. Upacara diakhiri dengan makan
bersama. Sedangkan, sebagai ungkapan terima kasih keluarga kepada sang dukun
beranak, ia diberi sasarah berupa: seliter beras, sebiji gula merah, sebiji
kelapa, dan rempah-rempah untuk memasak ikan.
Setelah
bayi berumur satu minggu atau lebih, ada upacara yang disebut tasmiah
(pemberian nama), dengan susunan acara sebagai berikut: pembacaan Ayat-ayat
Suci Al Quran (Surat Ali Imran), pemberian nama oleh mualim atau penghulu, dan
barjanji. Sebagai catatan, dalam barjanji itu, ketika dibaca kalimat asyrakal
semua hadirin berdiri, kemudian bayi dikelilingkan. Mereka, termasuk mualim
atau penghulu, diminta untuk menepung-tawari si bayi dengan baburih-likat.
Dengan berakhirnya upacara tasmiah ini, maka berakhirlah rangkaian upacara
kelahiran pada masyarakat Banjar.
3. Nilai Budaya
Upacara
kelahiran adalah salah satu upacara di lingkaran hidup individu. Upacara
kelahiran yang dilakukan oleh masyarakat Banjar yang berada di Kalimantan
Selatan, Indonesia ini, jika dicermati secara saksama, maka di dalamnya
mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan
bersama.
Nilai-nilai itu antara lain: ketaqwaan,
kesopan-santunan dan kewibawaan, dan kerukunan.
Nilai ketaqwaan tercermin dalam
perbuatan ayah sang jabang bayi ketika bayi telah dipotong tali pusatnya,
kemudian dimandikan (dibersihkan), lalu diletakkan di atas talam. Pada tahap
ini sang ayah mengucapkan azdan dan qomat. Pengucapan tersebut dimaksudkan agar
suara yang pertama kali didengar oleh bayi adalah kalimat Allah, sehingga
diharapkan kelak akan menjadi seorang muslim yang taat terhadap agama-nya
(menjalani ajaran-ajaran agama Islam dan menjauhi larangan-laranganNya).
Nilai kesopan-santunan dan kewibawaan
tercermin pada pemolesan gula atau kurma dan garam pada bibir bayi, dengan
maksud agar kelak sang jabang bayi dapat bermulut manis dan bertutur kata manis
(semua kata-katanya diperhatikan dan diikuti orang).
Nilai kerukunan tercermin pada
penyimpanan tali pusat Sang jabang bayi. Dalam hal ini tali pusat disimpan
baik-baik untuk dihimpun menjadi satu dengan tali pusat saudara-saudaranya.
Maksudnya adalah agar kelak (setelah dewasa) tidak bertengkar, selalu hidup
rukun dan damai. (ali gufron).
C. MANGARAI (Memberi Nama).
Pada
masyarakat Banjar, upacara mangarani (memberi nama) anak termasuk
dalam upacara daur hidup manusia. Setelah bayi dilahirkan dari rahim ibunya
merupakan kewajiban untuk memberi nama yang baik sebagai harapan bagi hidupnya
kelak.
Pemberian nama dalam adat Banjar
dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama dilakukan langsung oleh bidan yang
membantu kelahiran anak tersebut. Proses ini terjadi saat bidan melakukan pemotongan tangking(tali/tangkai)
pusat, pada saat itu bidan akan memberikan nama sementara yang diperkirakan
cocok untuk anak tersebut.
Pada waktu pemotongan tangking bayi itu
akan dilantakkan (dimasukkan seperti ditanam) serbuk rautan emas dan
serbuk intan ke dalam lubang pangkal pusatnya. Hal ini dimaksudkan agar si anak
kelak kalau sudah dewasa memiliki semangat keras dan hidup berharga seperti
sifat intan dan emas.
Setelah
Islam masuk ke tanah Banjar, proses mangarani anak ini berkembang secara resmi
menjadi tahap berikutnya yang disebut batasmiah (tasmiyah). Pemberian
nama anak tahap dua ini untuk memantapkan nama si anak. Jika nama pilihan bidan
sesuai dengan keinginan orang tua maka nama itu yang akan dipakai. Tetapi
apabila orang tuanya mempunyai pilihan sendiri maka melalui acara batasmiah ini
diresmikan namanya. Kadang-kadang dalam menentukan nama anak ini sering pula
meminta bantuan orang alim atau patuan guru (alim ulama).
Pada upacara ini akan dimulai dengan
membaca ayat suci Al Quran kemudian diteruskan dengan pemberian nama resmi
kepada anak yang dilakukan oleh patuan guru yang sudah ditunjuk. Begitu
pemberian nama selesai diucapkan, rambut si anak dipotong sedikit, pada
bibirnya diisapkan garam, madu, dan air kelapa. Ini dimaksudkan agar hidup si
anak berguna bagi kehidupan manusia seperti sifat benda tersebut. Anak yang
sudah diberi nama ini akan dibawa berkeliling oleh ayahnya untuk ditapung
tawari dengan minyak likat baboreh. Tapung tawar diberikan oleh beberapa orang
tua yang hadir di acara tersebut (terutama kakeknya) disertai doa-doa untuk si
anak.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Upacara
kehamilan yang berupa upacara mandi tian mandaring sampai sekarang masih
berlangsung terutama sering dilakukan di daerah-daerah pedesaan yang masih kuat
dengan tradisi dalam kehidupan sehari-hari sedangkan pada masa perkotaan yang
sudah mengalami perkembangan kemajuan alam pikiran dan teknologi sebagian telah
meninggalkan beberapa upacara adat dan tidak lagi mengindahkan berupa hal-hal
yang dipercayai yang bersifat mustahil. Kalaupun mereka lakukan, kadang-kadang
sudah berpadu dengan unsur modern. Baik dalam adat upacara maupun dalam
pelaksanaan upacara lebih menitik beratkan pada unsur-unsur yang praktis
daripada unsur-unsur yang bersifat magis.
Bagi
masyarakat Banjar yang masih memakai adat, terutama yang berhubungan dengan
kehamilan dan kelahiran dengan segala pantangannya, dalam hal upacara adat
selalu mereka selenggarakan walaupun diimplemantasikan dalam bentuk upacara
yang sangat sederhana sekali sebatas sebagai persyaratan belaka. Karena mereka
khawatir akan dapat berakibat buruk terhadap bayi yang dikandungnya apabila
tidak melaksanakan upacara adat. Oleh karena tujuan utama penyelenggaraan
upacara untuk mengusir roh-roh jahat yang dapat mengganggu kehamilan.
Adanya lapisan kebudayaan lama / asli
dengan segala unsur religinya yang berakulturasi yang mana unsur agama lebih
banyak sekali mempengaruhi adat istiadat kebudayaan masyarakat Banjar.
Karena masyarakat Banjar merupakan penganut agama Islam yang kuat, namun
walaupun demikian sebagian masyarakat Banjar masih mempercayai kepercayaan lama
yang berupa kepercayaan terhadap roh-roh halus yang dapat mengganggu kehidupannya.
Karena itu setiap upacara adat yang merupakan daur hidupnya suku Banjar
dilaksanakan secara Islami namun tidak meninggalkan unsur kepercayaan lama, dan
sampai sekarang masih berkembang di masyarakat walaupun sebagiannya sudah
hampir punah.
0 komentar:
Posting Komentar