BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Memahami Ahlussunah Waljamaah sebagai sebuah metode pemikiran dan pergerakan Islam
masih sangat penting, khususnya dewasa ini di mana Islam tengah berada di
persimpangan jalan antara kutub kanan dan kiri. Tarik menarik yang terjadi
antara dua kutub ini tidak terlepas dari pergulatan Islam itu sendiri dengan
realitas yang selalu hidup.
Wacana penyegaran pemahamanan
keagamaan kemudian menjadi sebuah kebutuhan jaman yang tidak dapat terelakkan.
Boleh dibilang bahwa unsur dinamik yang terdapat dalam agama Islam sejatinya
terletak pada multi-interprestasi yang selalu berkembang dalam merespon
perubahan realitas yang terjadi melalui satu titik mainstream Islam berupa
pedoman kitab dan sunnah yang diyakini oleh umatnya.
Hal ini yang membedakan dengan
agama-agama lainnya, penyeregamanan (konvergensi) satu model interprestasi
sumber otentik agama yang dimilikinya menjadikan nilai sebuah agama itu justru
kehilangan kesegarannya. Betapapun secara historis upaya memunculkan bentuk tafsir
yang berbeda tersebut telah ada, namun muaranya lebih kepada pengelupasan agama
yang mereka anut dari panggung kehidupan materialistik.
Dari sini
sesungguhnya yang diperlukan dari kita adalah kearifan untuk menyikapi
problematika multi-tafsir pemahaman keagamaan ini secara apresiatif dan tidak
dianggap sebagai sebuah pencemaran agama. Yang harus dipersiapkan adalah
sejauhmana kesanggupan kita melakukan dialektika yang komprehensif dalam
menyaring gagasan mana yang lebih berdaya manfaat dan memberikan kemaslahatan
bagi umat Islam masa kini. Di samping kebesaran hati kita untuk membuka pikiran
dalam menerima berbagai varian gagasan yang dimunculkan tersebut. Tak
terkecuali bagi Aswaja yang telah lama diyakini sebagai teologi yang banyak
diyakini atau dianut oleh umat Islam di dunia, ia juga tak ubahnya mangalami
dialektika multi-tafsir yang sama. Maka menggiring Aswaja pada satu bentuk
konsep yang tunggal hanya akan menjadikan ajaran Aswaja kehilangan
kesegarannya. Lebih-lebih aswaja hanya berfungsi sebagai salah satu bentuk
metode berpikir dalam memahami lautan Islam dan keislaman yang maha luas.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Mazhab Ahlussunnah Waljamaah dan hubungannya dengan
politik
Munculnya
Ahlussunnah Waljamaah sebagai sebuah sistem atau
paham tidak lepas dari kondisi sosial politik pada masa awal Islam yang berkisar pada paruh awal abad ke 3 H, di mana kekuasaan politik Islam baru mengalami masa
transisi dari kekuasaan Dinasti Umayyah kepada Dinasti Abbasiyah. Pada masa itu
sangat marak tradisi intelektual baik dalam bentuk perwujudan karya lokal
ataupun pemindahan karya luar untuk proses transformasi internal. Di mana
perhatian dinasti Abbasiah terhadap pengembangan ilmu pengetahuan sungguh
begitu tampak, dan seakan menjadi prioritas proyek pembangunan rezim
kekuasaannya. Di samping pula mulai lahirnya beragam pemikiran umat Islam dalam
merespon berbagai persoalan yang baru muncul ketika itu. Tepatnya dibawah
kepiawaian intelektual Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H.) dan Abu Mansur
al-Maturidi (w. 333 H.) Ahlulsunnah
Waljama’ah sebagai sebuah paham dan teologi independen mulai diperkenalkan.
Sebelumnya
di era kenabian, umat Islam masih bersatu, dalam artian tidak ada golongan A
dan tidak ada golongan B, tidak ada pengikut akidah A dan tidak ada pengikut B,
semua berada dibawah pimpinan dan komando Rasulullah Saw. Bila terjadi masalah
atau perbedaan pendapat antara para sahabat, mereka langsung datang kepada
Rasulullah Saw. itulah yang menjadikan para sahabat saat itu tidak sampai
terpecah belah, baik dalam masalah akidah, maupun dalam urusan duniawi.
Kemudian
setelah Rasulullah Saw. wafat benih-benih perpecahan mulai tampak dan
puncaknya terjadi saat Imam Ali RA. menjadi khalifah. Namun perpecahan tersebut
hanya bersifat politik, sedang akidah mereka tetap satu, meskipun saat itu
benih-benih penyimpangan dalam akidah sudah mulai ditebarkan oleh Ibnu Saba’,
seorang yang dalam sejarah Islam dikenal sebagai pencetus faham Syi’ah
(Rawafid). Tapi setelah para sahabat wafat, benih-benih perpecahan dalam akidah
tersebut mulai membesar, sehingga timbullah paham-paham yang bermacam-macam
yang dapat dibilang ‘menyempal’ dari ajaran Rasulullah Saw.[1]
Saat
itu umat Islam terpecah dalam dua bagian, satu bagian dikenal sebagai golongan-golongan
ahli bid’ah, atau kelompok-kelompok sempalan dalam Islam, seperti Mu’tazilah,
Syi’ah (Rawafid), Khawarij dan lain-lain. Sedang bagian yang satu lagi adalah
golongan terbesar, yaitu golongan orang-orang yang tetap berpegang teguh kepada
apa-apa yang dikerjakan dan diyakini oleh Rasulullah Saw. bersama
sahabat-sahabatnya.
Golongan
yang terakhir inilah yang kemudian menamakan golongan dan akidahnya Ahlus
Sunnah Waljamaah. Jadi golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah golongan yang
mengikuti sunnah-sunnah nabi dan jamaatus
shohabah. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW : “bahwa golongan yang selamat dan akan masuk
surga (al-Firqah an Najiyah) adalah golongan
yang mengikuti apa-apa yang aku (Rasulullah Saw) kerjakan
bersama sahabat-sahabatku.
Dengan
demikian akidah Ahlus Sunnah Waljamaah adalah akidah Islam yang dibawa oleh
Rasulullah dan golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah umat Islam.
Sedang golongan-golongan ahli bid’ah, seperti Mu’tazilah, Syi’ah (Rawafid) dan
lain-lain, adalah golongan yang menyimpang dari ajaran Rasulullah Saw yang
berarti menyimpang dari ajaran Islam. Dengan demikian hakekatnya embrio akidah
Ahlus Sunnah Waljamaah itu sudah ada sebelum lahirnya Abu Hasan al-Asyari dan
al-Maturidi. Begitu pula sebelum timbulnya ahli bid’ah atau sebelum timbulnya
kelompok-kelompok sempalan.
Sekalipun
pemahaman tentang klaim keselamatan yang hanya dimiliki oleh kelompok Aswaja
telah banyak dikritik oleh banyak pemikir dan ulama Islam, khususnya dari
aspek penjabaran klasifikasi perpecahan yang terjadi di tubuh umat Islam ke
dalam angka pas 73 kelompok, diragukan oleh sebagian ulama. Contohnya beberapa
ulama seperti Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429 H), atau as-Sahrasthani (w. 548
H), dan Ibnu al-Jauzi (w. 597 H) lebih memahami redaksional hadits
perpecahan umat Islam (Hadits
Furqah) secara harafiah. Sehingga berkonsekuensi pada upaya mereka
untuk mencocok-cocokkan kelompok Islam yang dianggap sempalan sampai pas mencapai 72 kelompok dan hanya satu
kelompok saja yang selamat. Padahal secara kebahasaan, dan tafsir al-Qur’an
dalam hal yang berkaitan dengan redaksi penyebutan angka, tidak mesti
menunjukkan angka yang pas seperti yang termaktub, melainkan indikasi tentang
banyaknya atau menjamurnya suatu hal yang menjadi obyek pembahasan.
Contohnya,
dalam ayat al-Qur’an surat at-Taubah: ayat 80, tentang istighfarnya nabi
Muhammad sebanyak 70 kali atau lebih atas orang-orang yang munafiq, tidak
berarti harus pas dengan 70 kali sebagaimana redaksi yang ada. Atau seperti
dalam surat Luqman: ayat 27, yang menerangkan tentang 7 laut yang digunakan
sebagai tinta untuk menghitung nikmat Allah Swt, tidak bermakna 7 pas, sebab
sekalipun ia lebih, semisal 70 atau 700 pun akan sama hasilnya; tidak akan
dapat mampu menghitung nikmat Allah dimaksud. Intinya angka yang tertera dalam
redaksi hadits perpecahan umat Islam tidak bermakna harafiah (terbatas angka
tertera).
Terlepas
dari shahih dan tidaknya hadits di atas, kenyataannya sampai saat ini masih
berlaku klaim-klaim keselamatan sebagai impak dari testimoni hadist tersebut.
Jika yang dimaksud Ahlussunah Waljamaah ialah satu-satunya kelompok yang
selamat dan masuk syurga, seluruh sekte dalam Islam akhirnya mengklaim sebagai
Ahlussunah. Muhammad Abduh mengutip perkataan Jalauddin al-dawâni bahwa: Nashiruddin
at-Thushy menganggap kelompok yang selamat tersebut adalah sekte Syi’ah
Imamiyyah. [6] Sementara
sebagian ulama lainnya menganggap kelompok As-Sya’irah lah kelompok yang
selamat tersebut. Sedang Ibnu Taimiyyah berpandangan, kelompok ahlu hadits yang
seluruh prilaku dan perkataannya senantiasa disesuaikan dengan pola hidup
Rasulullah Saw lah yang paling berhak dianggap sebagai kelompok yang selamat.
Dewasa ini malah baik kelompok salafi dan ahlu hadits masing-masing mengklaim
sebagai pengikut ahlussunah yang paling berhak dianggap sebagai kelompok yang
selamat. Bahkan sebagian pemikir kontemporer beranggapan bahwa Mu’tazilah lah
yang lebih dahulu lahir dan paling berhak untuk menyandang label Ahlussunah
Waljamaah ketimbang yang lainnya.
Bagi
saya, terminologi keselamatan tidak harus selalu berada pada salah satu
kelompok yang disebut di atas, dapat saja kebenaran diperoleh atau didapat pada
seluruh kelompok Islam yang ada, baik kelompok as-Sya’irah, Syi’ah, Ahlu
Hadits, ataupun Mu’tazilah. Sebagaimana sisi kekeliruan atau kesalahan dalam
ijtihad yang mereka lakukan juga relatif mungkin terjadi. Mengingat perbedaan
pendapat yang kerap terjadi bukan selalu pada ranah akidah atau ushuluddin,
melainkan pada ranah furu’iyyah yang
tidak ada kaitannya dengan persoalan justifikasi iman atau kafir.
Dengannya
kita patut meragukan kebenaran testimoni Imam as-Shahrastani: ”Jika kebenaranan dalam persoalan
aqliyat (rasional) berwajah satu, maka sangat logis jika kebenaran itu pun
seharusnya berada pada satu wajah kelompok Islam”, mengingat
pendapat atau pandangan suatu kelompok tidak harus secara mutlak kita terima
atau pun kita tolak. Pada ranah ini selalu berlaku relatifitas ijtihad yang
merupakan karateristik kelenturan syariat yang dimiliki oleh Islam.[2]
B.
Latar Belakang Sejarah Munculnya Khawarid
Khawarij adalah aliran dalam teologi Islam yang
pertama kali muncul. Menurut Ibnu Abi Bakar Ahmad al-Syahrastani, bahwa yang
disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dar imam yang hak dan telah
disepakati para jama’ah, baik ia keluar pada masa Khulafaur Rasyidin, atau pada
masa tabi’in secara baik-baik.
Nama Khawarij berasal dari kata “kharaja”
berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali.
Khawarij sebagai sebuah aliran telogi adalah kaum yang
terdiri dari pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan barisannya, karena
tidak setuju tehadap sikap Ali bin abi Thalib yang menerima arbitrase sebagai
jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan.
Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminology ilmu
kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang
keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang
menerima arbitrase (tahkim), dalam perang Shiffin pada tahun 37/648 M dengan
kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan perihal persengketaan khalifah.
Kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali dan
pasukannya berada di pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang
telah di bai’at mayoritas umat Islam, sementara Muawiyah berada di pihak yang
salah karena memberontak khalifah yang sah.
Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan
damai kelompok Muawiyah sehingga ia bermaksud menolak permintaan itu. Namun,
karena desakan pengikutnya seperti Al-asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki
at-Tamimi, dan Zaid bin Husein ath-Tha’I dengan sangat terpaksa Ali
memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukanya) untuk menghentikan peperangan.
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud
mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damainya, tetapi
orang-orang khawarij menolaknya. Mereka beranggapan bahwa Abdullah bin Abbas
berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka mengusulkan agar Ali
mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara
berdasarkan kitab Allah.Keputusan tahkim, yakni Ali diturunkan dari jabatannya
sebagai khalifah oleh utusannya dan mengangkat Muawiyah menjadi khalifah
pengganti Ali sangat mengecewakan kaum khawarij sehingga mereka membelot dan
mengatakan, mengapa kalian berhukum
kepada manusia. Tidak ada hukum lain selain hukum yang ada disisi Allah.
Imam Ali menjawab, itu adalah
ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan keliru. Pada saat itu juga
orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Hurura.[3]
Dengan arahan Abdullah al-Kiwa mereka smpai di Harura.
Di Harura, kelompok khawarij ini melanjutkan perlawanan kepada Muawiyah dan
juga Ali. Mereka mengangkat seorang pemimpin bernama Abdullah bin Shahab
Ar-Rasyibi.
1. Tokoh-Tokoh
khawarid
Adapun
tokoh-tokohnya sebagai berikut:
Abdullah
bin Wahab al-Rasyidi, pimpinan rombongan sewaktu mereka berkumpul di Harura,
pimpinan Khawarij pertama
1.
Urwah bin Hudair
2.
Mustarid bin sa’ad
3.
Hausarah al-Asadi
4.
Quraib bin Maruah
5.
Nafi’ bin al-azraq (pimpinan
al-Azariqah)
6.
Abdullah bin Basyir
7.
Zubair bin Ali
8.
Qathari bin Fujaah
9.
Abd al-Rabih
10.
Abd al Karim bin ajrad
11.
Zaid bin Asfar
12.
Abdullah bin ibad
13.
Abdullah ibn ka’wa (al muhakkimah al
ula)
14.
Najdah ibn ‘amir al hanafiy (al najdat
al ‘aziriyah)
15.
Abdul karim ibn ajrad (al ajaridah)
16.
Zaid ibn al asfar (al sufriyah)
2. Pemikiran
Khawarid
Bila dianalisis secara mendalam, pemikiran yang
dikembangkan kaum khawarij dapat dikategorikan dalam tiga kategori:
politik, teologi, dan social. Kategori doktrin politik
membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan masalah kenegaraan, khususnya
tentang kepala Negara (khalifah), doktrin tersebut:
1.
Khalifah atau imam harus dipilih secara
bebas oleh seluruh umat islam,
2.
Khalifah tidak
harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak
menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat,
3.
Khalifah dipilih
secara permanen selama yang bersangkuta bersikap adil dan menjalankan syariat
Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman,
4.
Khalifah sebelum
Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya, utsman
r.a. dianggap telah menyeleweng.
5.
Khalifah Ali adalah sah, tetapi terjadi
arbitrase (tahkim), ia dianggap telah menyeleweng,
6.
Muawiyah dan Amr bin Al-Ash serta Abu
Musa Al-Asy’ari juga dianggap telah mmenyeleweng,
7.
Pasukan perang jamal yang melawan Ali
juga kafir.
Menurut
pandangan Khawarij, bahwa keimanan itu tidak diperlukan jika masyarakat dapat
menyelesaikan masalahnya sendiri. Namun demikian, karena pada umumnya manusia
tidak bisa memecahkan masalahnya, kaum Khawarij mewajibkan semua manusia untuk
berpegang kepada keimanan, apakah dalam berfikir, maupun dalam segala
perbuatannya. Apabila segala tindakannya itu tidak didasarkan kepada keimanan,
maka konsekwensinya dihukumkan kafir.[4]
C.
Syi’ah
Syiah
adalah aliran sempalan dalam Islam dan Syiah merupakan salah satu dari sekian
banyak aliran-aliran sempalan dalam Islam. Sedangkan yang dimaksud dengan aliran
sempalan dalam Islam adalah aliran yang ajaran ajarannya menyempal atau
menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya yang telah disampaikan oleh
Rasulullah SAW, atau dalam bahasa agamanya disebut Ahli Bid’ah.
Selanjutnya
oleh karena aliran aliran Syiah itu bermacam-macam, ada aliran Syiah Zaidiyah
ada aliran Syiah Imamiyah Itsna Asyariah ada aliran Syiah Ismailiyah dll, maka
saat ini apabila kita menyebut kata Syiah, maka yang dimaksud adalah aliran
Syiah Imamiyah Itsna Asyariah yang sedang berkembang di negara kita dan
berpusat di Iran atau yang sering disebut dengan Syiah Khumainiyah. Hal mana
karena Syiah inilah yang sekarang menjadi penyebab adanya keresahan dan
permusuhan serta perpecahan didalam masyarakat, sehingga mengganggu dan merusak
persatuan dan kesatuan bangsa kita. Tokoh-tokoh Syiah inilah yang sekarang
sedang giat-giatnya menyesatkan umat Islam dari ajaran Islam yang sebenarnya.
Syi’ah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok, sedangkan
secara teminologis adalahsebagian kaum
muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pada
keturunan Nabi Muhamad SAW. atau orang yang di sebut sebagai ahl
al-bait. poin penting dalam doktrin syi’ah adalah pernyataan
bahwa segala petunjuk agama itu bersumber dari ahl al-bait. Mereka menolak petunjuk-petunjuk
keagamaan dari para sahabat yang bukan ahl al-bait atau para pengikutnya.
Mengenai kemunculan Syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat di
kalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul pada masa akhir Umar bin Affan kemudian
tumbuh dan berkembang pada masa pemerintah Abi bin Abi
Thalib. Adapun menurut Watt, Syi’ah baru benar-benar muncul ketika
berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenel dengan perang
siffin. Pasukan Ali di ceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok
mendukung Ali kelak disebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap ali, kelak
disebut Khawarij.
Kalangan Syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan
dengan pengganti (khilafah)
Nabi Muhamad SAW.Mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khaththab, dan
Usman Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thaliblah
yang berhak menggantikan Nabi. kepemimpinan Ali dalam pandangan
Syi’ah tersebut sesuai dengan isyarat-isyarat oleh Nabi SAW.[5]
1. Macam-Macam Syi’ah
a. Syi’ah Itsna Asyariyah (Syi’ah
Dua Belas/Syi’ah Imamiah)
Asal-usul Penyebutan Imamiyah dan Syi’ah Itsna Asyariyah
Dinamakan
Syi’ah Imamiah karena yang menjadi dasar akidahnya adalah persoalan imam dalam
arti pemimpin religio politik, yakni Ali berhak menjadi khalifah karena
kecakapannya atau kemulyaan akhlaqnya, tetapi juga karena ia telah ditunjuk nas
dan pantas menjadi khalifah pewaris kepemimpinan nabi Muhammad SAW. Ide tentang
hak Ali dan keturunannya untuk menduduki jabatan khalifah telah ada dalam
perbincangan politik di Saqifah Bani Sa’idah.
Doktrin-doktrin Syi’ah Itsna ‘Asy’ariyah
Di
dalam sekte Syi’ah itsna ‘Asy’ariyah dikenal konsep usul Ad-Dinn. Konsep ini
menjadi akar atau pondasi prakmatisme agama. Konsep ushuluddin mempunyai lima
akar.
b. Syi’ah Sab’iyah (Syi’ah Tujuh)
Asal usul Penyabutan Syi’ah Sab’iyah
Syi’ah sab’iyah hanya mengakui tujuh imam yaitu Ali, Hasan, Husein, Ali
Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far Ash-Shiddiq, dan Ismail bin Ja’far.
Karena dinisbatkan pada imam ketujuh, Ismail bin Ja’far Ash-Shiddiq, syi’ah
sab’iyah disebut juga syi’ah ismailiyah.
Doktrin Imamah dalam pandangan syi’ah
sab’iyah
Para pengikut syi’ah sab’iyah percaya bahwa islam dibangun oleh tujuh
pilar, seperti dijelas oleh Al-Qadhi An-nu’man dalam Da’ain al-islam. Tujuh
pilar tersebut adalah iman, thaharah, sholat, zakat, saum, haji dan jihad.
c. Syi’ah Zaidiyah
Asal-usul Penamaan Zaidiyah
Disebut Zaidiyah karena sekte ini mengakui Zaid bin Ali sebagai imam
kelima, putra imam keempat, Ali zainal Abidin. kelompok ini berbeda dengan
sekte Syi’ah lain yang mengakui Muhamad Al-Baqir, putra Zainal abidin yang
lain, sebagai imam kelima.Dari nama Zaid bin ali inilah, nama Zaidiyah diambil.
Doktrin Imamah Menurut Syi’ah Zaidiyah
Imamah, sebagaimana telah disebutkan, merupakan doktrin fundamental dalam Syi’ah secara umum. Berbeda dengan doktrin imamah yang dikembangkan syi’ah lain, syi’ah Zaidiyah mengembangkan doktrin imamah yag tipikal.
Imamah, sebagaimana telah disebutkan, merupakan doktrin fundamental dalam Syi’ah secara umum. Berbeda dengan doktrin imamah yang dikembangkan syi’ah lain, syi’ah Zaidiyah mengembangkan doktrin imamah yag tipikal.
d. Syi’ah Ghulat
Asal-usul Penamaan Syi’ah Ghulat
Istilah Ghulat berasal dari kata ghala-yaghlu-ghuluw artinya bertambah dan
naik.
Syi’ah Ghulat adalah kelompok pendukung ali yang memiliki sikap berlebih-lebihan atau ekstrim (exaggeration).
Syi’ah Ghulat adalah kelompok pendukung ali yang memiliki sikap berlebih-lebihan atau ekstrim (exaggeration).
Gelar ekstrim (ghuluw) yang diberikan kepada kelompok ini berkaitan dengan
pendapatnya yang janggal,yakni ada beberapa orang yang secara khusus dianggap
Tuhan dan juga ada beberapa orang yang dianggap Rasul setelah nabi Muhamad.
Doktrin-doktrin Syi’ah Ghulat
Menurut syahrastani, ada empat doktrin yang membuat mereka ektrim, yaitu
tanasukh, bada’, raj’ah dan tasbih.moojan momen menambahkan dengan hulul dan
ghayba.[6]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Persoalan
akidah merupakan sebuah pesoalan yang sangatlah penting. Sebab akidah
menentukan dalam pengaplikasian amalan agama dalam kehidupan.Dari uraian
diatas, setidaknya kita bisa tahu tentang pemikiran kalam yang insyaallah benar
dan sesuai dengan apa yang telah di ajarkan beliau Rasulullah SAW, yakni
Ahlussunnah,yang beroedoman pada Al-Qur’an dan Hadits, serta ijma’dan qiyas. Namun
meskipun kita berada pada suatu kelompok yang dianggap benar,namun kita tetap
tidak boleh merasa paling benar dan menyalahkan yang lain.Sebagai generasi
sekarang tentu sulit bagi kita untuk mengamalkan islam secara kaffah, Sebab
kita tidak tahu beliau Rasulullah SAW secara langsung. Namun setidaknya kitaa
telah berusaha untuk mengamalkan apa yang diajarkan beliau melalui perantara
ulama-ulama. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang beruntung, amin ya robbal’alamiin.
DAFTAR PUSTAKA
[1]. Abdurrahman Badawi, Mazhab
Al-Islamiyyin, (Dar Ilmi lil Al-Malayin, 1984), hal. 497
[2]. Muhammad Tholhah Hasan. Ahlussunah
Waljamaah dalam Persepsi dan Tradisi NU Jakarta: aniuhnia Press, 2005
[3]. Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah,
1951), hal. 115
[4]. Hanafi, Pengantar Teologi
Islam, (Cet. 1; Jakarta: Pustaka Al Husna Baru: 2003), hal. 167
[5]. Abdul Kadir bin Tahir bin Muhammad, Al-Farqu Bainal Firaq (Dar al-Kutub al-ilmiah: Beirut:
t.th). hal, 28
Where to Play Blackjack and Why You Don't Want to Learn
BalasHapusBlackjack is a game of 바카라 추천 사이트 chance for gamblers to learn the rules of blackjack and why you do not want to learn the rules of blackjack.